Naik Garuda Atau Naik Go-Jek ?
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Bila ada pertanyaan seperti dalam judul tulisan ini, apa jawaban Anda ? Tidak perlu dijawab ! karena pertanyaannya yang salah, apapun jawaban Anda bisa benar dan bisa juga salah. Kurang lebih seperti inilah perbandingannya ketika di media saya membaca bagaimana orang membandingkan Garuda yang sudah hampir seumur Republik valuasinya ‘hanya’ sekitar Rp 12.3 trilyun, sementara Go-Jek yang bayi kemarin sore valuasinya kini telah mencapai Rp 17 trilyun. Kalau kita membuat perusahaan sekarang, apakah membuat Garuda atau membuat Go-Jek ?
Keduanya bisa benar dan bisa juga salah tergantung pada jenis usaha apa yang hendak Anda buat tersebut. Keberadaan Garuda perlu sejak awal berdirinya Republik ini karena bisa dibayangkan negeri kepulauan ini bila tanpa didukung perusahaan pelat merah yang perkasa yang bergerak dalam transportasi, keberadaannya bukan hanya entity bisnis yang fokusnya untung-rugi atau valuasi perusahaan – Garuda sebagai penopang pertumbuhan ekonomi dan pemersatu negeri tidak terhitung nilainya.
Demikian pula Go-Jek, ketika masalah transportasi ibukota begitu urgent untuk diatasi – sementara banyak resources berupa kendaraan roda dua yang idle – maka solusi seperti Go-Jek menjadi pahlawan tersendiri pada jamannya ini – karena raksasa-raksasa transportasi ibukota terjebak dalam pola usaha klasiknya.
Jadi keduanya dibutuhkan untuk situasinya masing-masing, dan menjadi pelajaran tersendiri bagi kita yang ingin membangun usaha seperti Garuda atau seperti Go-Jek.
Di sektor-sektor yang ultimate produk berupa barang atau jasanya memang belum ada yang mengurusi, sedangkan produk barang atau jasa tersebut kebutuhannya sudah jelas – ya memang tetap harus ada yang mengusahakannya secara fisik.
Contohnya adalah produk-produk hasil alam kita yang bersifat renewable seperti sumber-sumber makanan, sumber obat-obatan dari tanaman dan lain sebagainya tetap harus ada yang tidak henti-hentinya mengerjakannya secara fisik, dan mengeksplorasi lebih lanjut peluangnya juga secara fisik.
Sebaliknya di sektor-sektor yang penyedia produk berupa barang atau jasa-nya yang sudah banyak, tetapi hanya utilisasi resources-nya yang belum optimal – maka solusi berbasis teknologi model Go-Jek – barangkali itulah yang dibutuhkan saat ini.
Di sektor keuangan yang sesuai dengan tuntunan syariah misalnya, saya melihat terobosan semacam Go-Jek-lah yang dibutuhkan – untuk mengunggulkan keuangan syariah yang begitu massif pasarnya di negeri ini tetapi sudah jalan 20 tahun lebih pangsa pasarnya hanya kurang dari 5 % dibandingkan dengan yang konvensional.
Peer to peer lending misalnya, umat yang suka menolong ini pasti mudah menolong saudaranya yang membutuhkan bila perbankan syariah bisa berfungsi sebagai pencatat atau penjamin yang adil sebagaimana diamanatkan di surat Al-Baqarah 282-283.
Dengan mentadaburi dua ayat ini saja kemudian men-actualisasikan-nya dengan aplikasi yang gokill istilah anak mudanya – maka insyaAllah perbankan syariah sudah akan bisa melesat melampaui valuasi bank-bank konvensional induknya. Tinggal menunggu waktu saja , siapa yang berpikir kesana. Bila tidak ada yang berpikir ke sana, saya khawatir justru dari luar yang akan masuk – pilihannya hanya dua yaitu disrupt or be disrupted !
Demikian pula industri keuangan lainnya seperti asuransi. Mereka punya dana besar sekali, mereka juga punya value proposition yang menarik – yaitu memfasilitasi gerakan tolong-menolong yang kolosal – lintas bangsa dan lintas benua.
Tetapi layanan yang sesungguhnya belum hadir pada saat dibutuhkan, maka orang belum secara suka rela bergabung dengan asuransi – baik yang sufatnya konvensional maupun syariah. Produk asuransi masih juga berupa product to sell – yaitu produk yang harus dijual dengan susah payah sampai setengahnya membujuk – baru orang mau membelinya. Belum menjadi product to buy, dimana secara sukarela orang sengaja mencarinya untuk membeli product tersebut.
Sepanjang karir saya yang lama di dunia asuransi selama 20 tahun, baru sekali saya berhasil membuat product to buy di industri asuransi – yaitu ketika di puncak krisis Indonesia tahun 1997-1998 saat itu saya meluncutkan product RSCC (Riot, Strike, Civil Commotion) atau yang kemudian dikenal sebagai asuransi huru-hara secara luas.
Untuk dunia keuangan syariah, perbankan, asuransi, pasar modal dan lain sebagainya – saya melihat sekarang waktunya lahir Go-Jek, bukan waktunya lahir Garuda. Dan ini bisa lahir dari mana saja , tidak harus lahir dari dunia keuangan syariah itu sendiri.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Muhammad Yunus – Pendiri Grameen Bank yang terkenal itu, “ …kalaulah saya orang bank, mungkin tidak akan perah lahir Grameen Bank”. Mengapa demikian ? karena orang yang berada di dalam melihat masalah – sedangkan orang yang berada di luar yang dilihatnya adalah peluang !
Di era seperti ini perbagai industri yang mapan sekalipun pasarnya seperti perhotelan, transportasi, perbankan dlsb – akan sangat mudah di-disrupted oleh para pemain baru dari luar sektor, karena ya itu tadi – yang di dalam melihat sejumlah masalah, sementara yang di luar melihat peluang !
Time to disrupt or be disrupted ! Maka untuk jawaban saya bila menghadapi pertanyaan seperti judul di atas, saya tidak memilih ini atau itu – tetapi saya memilih ini dan itu. Saya naik Go-Jek dahulu kemudian naik Garuda, atau naik Garuda dahulu kemudian naik Go-Jek – yang manapun urutannya tidak masalah tergantung dari jalur perjalanan yang saya tempuh !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar