Bila Tanaman Bukan Hanya Makanan
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Pekan lalu saya berjalan menyusuri Bali bagian barat dan menjumpai sepanjang jalan keharuman bunga kamboja kuning yang jatuh di tanah – di hampir setiap rumah. Mirip dengan yang ini adalah apa yang saya lihat bulan lalu di kebun-kebun sayur okra orang Jepang, yang membiarkan buah okra jatuh berserakan di tanah. Keduanya adalah hasil pertanian yang sangat mahal, namun tidak terolah karena pertanian kita – dan juga di negara maju seperti Jepang sekalipun – masih fokus pada seputar makanan. Potensi pertanian lainnya nyaris belum tergarap secara optimal.
Bunga kamboja kuning – yang di Bali disebut kamboja cendana karena keharumannya, adalah jenis kamboja yang dalam bahasa latinnya disebut Plumeria flavum memang jauh lebih wangi ketimbang bunga kamboja yang biasa ada di kuburan-kuburan kita - yang dalam bahasa latinnya disebut Plumeria alba.
Konon dahulu di awal maraknya kamboja kuning tersebut, harganya sempat mencapai Rp 100,000 per kg bunga, kini karena tidak ada yang mau beli – masyarakat membiarkan berserakan dei tanah.
Yang di Jepang hasil pertanian yang disia-siakan tersebut lain lagi, yaitu okra yang tumbuh melewati usia konsumsinya yang optimal. Bila kelewat dari usia tersebut, okra dianggap terlalu keras untuk di konsumsi sebagai sayur – maka dibiarkan terbuang di lahan dan kembali terurai menjadi pupuk tanaman.
Tanaman okra ini nama latinnya adalah Abelmoschus esculantus – yang dari namanya sebenarnya sudah mengisyaratkan sumber wewangian yang sangat berharga – yaitu sumber aroma misik, karena Abelmoschus berasal dari bahasa arab Abul musk – atau bapaknya kesturi !
Apa yang membuat hasil tanaman yang sesungguhnya sangat berharga tersebut nyaris terbuang begitu saja ?
Kembali ke tanah sebenarnya juga selalu baik karena menyuburkan kembali tanah, tetapi hasil tanaman-tanaman tersebut sesungguhnya masih sangat berpeluang untuk dilipat gandakan.
Buah okra ketika dibiarkan tua mengering, bijinya bisa disuling dan menghadirkan aroma musk – yang disebut Musk Okra, harganya bisa puluhan juta per kilogram minyaknya. Demikian pula bunga kamboja kuning – bila dienfleurasi menjadi Frangipani Absolut – bahan minyak wangi yang sangat berharga melebihi hasil kamboja yang putih.
Bagaimana caranya agar segala potensi alam sekitar kita bisa terolah secara optimal ? Pertama tentu kita harus melihat potensi-potensi tersebut, itulah sebabnya ada dorongan ke kita untuk selalu memikirkan ciptaanNya – sampai kita bisa melihat tidak ada ciptaanNya yang sia-sia (QS 3:190-191).
Hasil kami mengaji dari alam sekitar ini, kami tuangkan dalam konsep 7 F Bioeconomy yang dari waktu ke waktu terus kami sempurnakan. Bentuk terakhir yang merupakan penyempurnaan dari tulisan tahun lalu tersebut adalah seperti pada ilustrasi di bawah.
Pada bulatan bulatan ke 2 ( Favor) kami tambahkan flavor and fragrance hasil tadabur surat Al-Hajj ayat 5 dan surat Qaf ayat 7 dan pada bulatan ke lima (Fodder) kami tambahkan surat As-Sajdah ayat 27. Dari mentadaburi surat As-Sajdah ayat 27 ini kami mendapati adanya isyarat tanaman-tanaman semusim yang prioritasnya untuk ternak dahulu, baru kemudian untuk manusia. Yang ini sudah saya bahas dalam tulisan Life Artisan tanggal 10/8/16 lalu.
Yang menarik untuk ditambahkan adalah tanaman yang disebut di dua surat sebagai zaujim bahiij (QS 22:5 dan 50 :7), pada umumnya diterjemahkan sebagai pasangan tanaman-tanaman yang indah. Ini juga betul, tetapi Ibnu Kathir memberi penafsiran yang lebih tajam – yang dimaksud indah disini, yaitu termasuk dalam bentuk, rasa, penglihatan dan penciuman – aroma.
Jadi dua tanaman yang saya buat contoh tersebut di atas yaitu okra tua dan kamboja kuning, mengapa belum dioptimalkan hasilnya – karena bisa jadi masyarakat pemilik tanaman-tanaman tersebut belum bisa mengolah nilai oroma yang ada pada tanamannya.
Bila masyarakat sudah bisa melihatnya, next step- nya tinggal bagaimana mengolahnya atau mengambil nilai aroma dari tanaman-tanaman itu. Teknologi untuk ini sudah berkembang selama ribuan tahun – tinggal mengajarkannya saja kembali.
Ada yang memerlukan mesin atau alat seperti ekstraksi dan destilasi, ada yang sama sekali tidak butuh alat – yaitu melalui proses yang disebut infusi atau enfleurasi. Jadi masyarakat sangat mungkin bisa diajari untuk mengolahnya sendiri, tanpa dibutuhkan investasi atau modal yang besar.
Bayangkan sekarang bila masyarakat atau setidaknya ada sebagian masyarakat yang bisa melihat dengan kaca mata multi dimensi terhadap segala ciptaanNya yang ada di sekitar kita tersebut – insyaAllah tidak akan ada hasil bumi ini yang sia-sia.
Utamanya tentu untuk dimakan (Food) karena inilah kebutuhan utama manusia, kalau tidak dimakan bisa jadi Flavor and Fragrance, bisa jadi pupuk (Fertilizer), bisa jadi material (Feedstock), bisa jadi pakan ternak (Fodder), bisa jadi serat untuk pakaian dlsb (Fiber) dan kalau tidak bisa juga baru dibakar sebagai bahan bakar (Fuel) !
Dengan kacamata multi dimensi inilah insyaAllah kita bisa memajukan negeri hijau di khatulistiwa yang amat sangat kaya dengan keaneka-ragaman hayati ini. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar