Jebakan Ilmu
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Kemarin saya sempatkan tour ke masa lampau, mengunjungi instansi pemerintah yang dahulu pernah begitu berjaya dan dimanjakan dalam biaya pendidikan dan pelatihan – sampai waktu itu sempat membuat iri instansi-instansi lainnya. Sekarang kondisinya terkesan merana, tidak nampak adanya passion di dalamnya, gedung-gedung tua dan perabot yang sama tuanya menghiasi kantor-kantor. Dimana para ilmuwan dan peneliti dengan gelar akademisi tertinggi yang dahulu berjibun jumlahnya ? Inilah potret negeri yang terjebak dalam jebakan ilmu.
Ketika disiplin ilmu ditinggikan setinggi langit tetapi disiplin amal diabaikan, maka negeri ini hanya setingkat lebih tinggi dari himpunan orang-orang yang merugi. Kok bisa ?
Melalui surat Al-Asr Allah bersumpah dengan waktu, bahwa manusia semua dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh, saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran. Asumsinya kita sudah beriman, maka next-nya seharusnya adalah beramal shaleh.
Ilmu yang kita tuntut seharusnya menjadi landasan amal shaleh kita karena amal yang tidak didasari ilmu akan lebih banyak merusak dari pada memperbaiki. Tetapi ketika ilmu yang kita tuntut tidak menggerakkan amal shaleh, maka tidak bermanfaat pula-lah ilmu itu.
Yang sudah beramal-pun tetap akan merugi kecuali yang beramal dengan ikhlas - karena nilai suatu amal tergantung niatnya. Yang beramal saja bisa rugi, apalagi yang tidak beramal - tambah rugi-lah dia.
Maka dengan menggunakan bahasa matematika himpunan, situasi tersebut dapat saya ilustrasikan seperti grafik di samping. Semua manusia dalam kerugian, kecuali sedikit yang mau belajar ilmu. Yang berilmu-pun tetap dalam kerugian kecuali sedikit yang beramal, dan yang beramal ini-pun masih dalam kerugian kecuali yang beramal dengan ikhlas.
Nah dengan konsep himpunan ini dan juga realita yang saya kunjungi di suatu instansi pemerintah tersebut di atas, barangkali sudah waktunya kita memberi alternative pada system pendidikan kita.
Sudah waktunya kita lebih fokus pada mengajarkan atau mempelajari ilmu yang dapat sungguh-sungguh menjadi dasar amal, bukan hanya sekedar ilmu yang diajarkan atau dipelajari sebatas ilmu.
Bisa jadi ilmu-ilmu yang kita pelajari sampai jenjang tertinggi itu justru kelewat tinggi dibandingkan dengan tingkat amal yang dibutuhkan. Sehingga kita membuang begitu banyak resources untuk yang tidak perlu-perlu amat, sementara ilmu yang sangat diperlukan justru tidak kita mendapatkan perhatian dan resources yang cukup.
Tahun 1985 ketika saya lulus perguruan tinggi, saya mendapat kesempatan pertama untuk menempuh jenjang berikutnya ke Jepang. Tetapi saat itu yang hendak mengirim saya sudah menggariskan, bahwa saya harus belajar robotic pertanian sampai jenjang Doktor di Jepang.
Alhamdulillah saya tidak jadi berangkat, bayangkan kalau saat itu saya belajar robotic pertanian – hingga kini 31 tahun kemudian ilmu itu belum dibutuhkan negeri ini !
Justru yang sangat dibutuhkan ternyata ilmu yang amat sederhana yang hingga kini dijalankan oleh para petani tua di Jepang senidiri. Mereka secara estafet mewariskan bibit-bibit tanaman yang dijaga oleh para leluhurnya silih berganti secara turun temurun.
Kesedihan petani Jepang bukan karena mereka tidak bisa membuat robot, tetapi karena tidak ada lagi generasi berikutnya yang mau diwarisi bibit-bibit ini untuk dijaga, dikembangkan dan kemudian diwariskan untuk generasi berikutnya lagi.
Saking tidak adanya yang menjaga bibit-bibit ini, mereka malah setuju untuk menugasi orang Indonesia yang tidak jadi belajar robotic pertanian di negeri mereka ini – untuk menjaga bibit-bibit yang masih mereka bisa amankan.
Melalui kerjasama dengan Seeds of Life – Jepang, saat ini kami sedang siapkan kampanye bersama yang nantinya akan menggunakan publikasi multi-language e-Magazine di Al-Manak.Com – pasti diluar dugaan Anda kalau yang mengusulkan nama ini justru mereka ! Mereka ternyata paham tentang konsep yang mereka sebut Agriculture Almanac – yang dahulu menjadi pegangan para petani di Andalusia. Melalui kerja bareng inilah insyaAllah akan dilahirkan project iGrow Seed di Jepang yang pada waktunya juga akan merambah ke negeri-negeri lainnya.
Konsep harmonisasi antara ilmu dan amal inilah yang dahulu menjadi standar jenjang pendidikan di Islam. Hanya ada dua jenjang pendidikan yaitu Kuttab yang membekali keimanan sebelum anak-anak mencapai usia baligh – alangkah kasihannya anak-anak kita bila mereka sudah mencapai usia baligh dan menghadapi syariatNya sendirian sedangkan bekal imannya belum cukup ! Dimana bekal iman ini diajarkan di system pendidikan kita saat ini ?
Satu-satunya jenjang pendidikan berikutnya selepas Kuttab adalah Madrasah. Tetapi jangan dipahami Madrasah ini seperti istilah Madrasah yang kita kenal sekarang, semua keahlian – ilmu yang tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum – sampai jenjang setinggi apapun dipelajarinya di Madrasah ini.
Konsep Madrasah kita yang sangat berbeda inilah yang membuat salah satu guru saya – Almarhum Bapak Adi Sasono – semoga Allah merakhmatinya, sepekan menjelang beliau dipanggil kehadapanNya dalam kondisi kurang sehat masih sempat mengunjungi Madrasah Al-Filaha di Jonggol, ikut membuka angkatan IV dari Pesantren Al-Filaha.
Salah satu yang saya ingat komentar beliau tentang Madrasah ini adalah “…Saya insyaAllah sangat paham dunia pertanian, saya juga paham tentang Madrasah…tetapi baru kali ini saya paham tentang Madrasah Pertanian …”.
Maka konsep Madrasah inilah yang hendak kami perkenalkan ke Pak Adi-Pak Adi lainnya, bahwa melalui konsep Madrasah yang mengajarkan ilmu yang menjadi dasar amal inilah umat ini dahulu berjaya selama berabad-abad lamanya.
Konsep Madrasah bisa menjadi harapan akan bangkitnya kembali kekuatan umat karena kita idak akan mensia-siakan waktu dan resources lainnya yang kita miliki untuk belajar ilmu yang tidak kita amalkan. Bayangkan kalau saya terlanjur menekuni robotic pertanian sejak tahun 1985, sedangkan yang lebih dibutuhkan dunia hingga kini adalah ilmu untuk menjaga dan mewariskan bibit-bibit – agar generasi berikutnya tetap bisa menanam bahan pangan mereka sendiri – ilmu sederhana tetapi kita semua lalai menjaganya !
Setelah berjalannya Madrasah Pertanian Al-Filaha, konsep Madrasah inipun kita teruskan di bidang lainnya seperti yang kami umumkan kemarin yaitu Madrasah Al-Kimiya. Alhamdulillah dari pengumuman sehari saja kami berhasil memperoleh pendaftar yang sangat menggembirakan untuk menjelaskan standar Madrasah kita yang sesungguhnya.
Dari peserta yang baru masuk – sudah self explanatory – ilmu seperti atau setingkat apa yang akan kita pelajari dan amalkan dari Madrasah ini. Diantara peserta yang sudah confirm tersebut ada seorang dokter specialist, ada dua orang yang sudah mater (S2) dalam ilmu kimia, ada seorang ahli farmasi yang menguasai social pharmacy, ada kandidat doctor di bidang phytocompound dlsb. Ini bisa menjawab, Jadi setingkat apa Madrasah itu ? Setingkat Doktor-kah ?, bukan di kita semua sama yaitu setingkat Madrasah !
Meskipun yang sudah berjenjang pendidikan tertinggi tentu membawa manfaat tersendiri dan oleh karenanya juga kita utamakan, tetapi bukan syarat mutlak. Kita bahkan tidak mempermasalahkan jenjang formalnya, tetapi kita hanya fokus – apapun yang kita pelajari di Madrasah ini harus menjadi landasan amal kita – agar kita tidak lagi terjebak dalam jebakan ilmu semata ! InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar