Tum Hi Ho, Indonesia Tanpa Tempe ?
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Ada sebuah lagu yang sangat terkenal di India dengan judul Tum Hi Ho, sehingga ribuan versinya di upload di Youtube – beberapa versi telah ditonton oleh ratusan juta orang. Tum Hi Ho ini juga menular sampai ke Indonesia, bahkan ada versi religinya yang disenandungkan oleh santri sampai kyai. Tetapi bukan masalah lagu ini yang saya ingin bahas, adalah fenomena sosial yang bisa menggerakkan perubahan besar di masyarakat. Tum Hi Ho saya ibaratkan tempe di masyarakat kita.
Mengapa sejumlah unggahan Tum Hi Ho di India bisa ditonton ratusan juta orang ? Apakah begitu hebatnya Tum Hi Ho ini ? tidak juga sebenarnya, dia syair yang menyihir saja – isinya tidak ada apa-apanya, mirip lagu-lagu cengeng yang ada di masyarakat kita juga.
Bahwa dia ditonton sampai ratusan juta orang – simple saja alasannya yaitu penduduk India jumlahnya 1.33 milyar orang. Kalau 5 % saja yang menonton, dan masing-masing menontonnya dua kali – maka sudah 133 juta orang yang menonton unggahan Tum Hi Ho tersebut di Youtube.
Lantas apa hubungannya dengan tempe ? hubungannya ada pada kwalitas dan kebutuhan pasar. Sebagai makanan tempe sebenarnya juga biasa-biasa saja, tetapi karena bangsa yang penduduknya makan tempe ini populasinya sangat besar, no 4 terbesar di dunia – maka tempe dikonsumsi oleh jumlah manusia yang sangat banyak.
Tempe dan saudaranya tahu yang sama-sama dibuat dari kedelai, adalah sumber protein yang paling terjangkau di negeri ini. Maka seperti Tum Hi Ho yang membuai rakyat India, tempe dan tahu membuai kita dengan sumber protein – yang seolah-olah hanya tahu dan tempe yang bisa dijangkau oleh sebagian besar rakyat negeri ini.
Masalahnya adalah apa jadinya bila kedelai yang menjadi bahan baku tempe tersebut menghilang dari pasar kita ? belum terbayangkan alternatif lain dari kedelai yang semurah dan semassal kedelai ini. Ada ribuan jenis kacang-kacangan lainnya, tetapi belum ada yang diproduksi semassal kedelai.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah mungkin kedelai akan menghilang dari pasar ? Saya berharap itu tidak terjadi, tetapi kemungkinan itu terbuka. Mengapa ?
Masalahnya adalah, dari sumber yang seharusnya paling kompeten di bidang perkedelean ini-pun data itu simpang siur. Sebagi contoh, di situs resmi litbang mereka memberitakan bahwa produksi kedelai tahun 2015 adalah 1.27 juta ton, tahun 2016 direncanakan 2.63 juta ton dan tahun 2017 direncanakan 3 juta ton.
Tetapi ironinya di situs resmi departemen yang bersangkutan juga mengutip sumber BPS menyatakan bahwa produksi kedelai tahun 2015 hanya 963 ribu ton. Ada perbedaan lebih dari 300,000 ton atau bila disetarakan luasan tanam lebih dari 200,000 hektar. Luas tanam sebesar ini tidak mungkin ngumpet bukan ?
Karena kesimpang siuran data tersebut, maka saya gunakan data BPS saja – yang menyebutkan bahwa tahun 2015 produksi kedelai kita hanya 963,000 ton dan hanya mengalami pertumbuhan 0.86 % dari tahun sebelumnya yang 955,000 ton.
Lantas pertanyaaan berikutnya adalah kalau produksi kita hanya seperti ini, lantas dari mana rakyat yang mendekati 260 juta ini memperoleh kedelai ? Pasti sebagian besarnya adalah impor ! Impor kita kurang lebih 2.5 kali dari produksi nasional.
Masalah berikutnya adalah sumber kedelai impor ini selain kurang baik bagi kesehatan karena mayoritasnya adalah kedelai GMO, juga kontinyuitas ketersediaan supply-nya tidak terlalu bisa diandalkan.
Saat ini produksi kedelai dunia berada di kisaran 330 juta ton dan bertambah sekitar 15 – 20 juta ton per tahun. Dari pertambahan supply ini secara kasar kurang lebih separuh dipakai oleh masing-masing negara produsen untuk berbagai kebutuhan yang meningkat – bahan baku minyak goreng, biofuel, pakan ternak dlsb. – separuh lagi untuk menambah ekspor mereka
Artinya tambahan kedelai di pasar ekspor dunia setiap tahunnya hanya di kisaran 7.5 juta sampai 10 juta ton saja. Tambahan supply di pasar kedelai dunia ini hanya pas-pasan dan bahkan cenderung kurang untuk memenuhi tambahan kebutuhan kedelai bagi import China yang rata-rata tambahan tahunannya sudah lebih dari 10 juta ton.
Jadi di luar sana juga ada pertumbuhan demand yang melebihi pertumbuhan supply, sementara produksi nasional kita yang dari grafik lebih dari setengah abad tersebut diatas tidak menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan – bahkan tahun lalu hanya tumbuh kurang dari 1 % - lantas apa yang bisa kita perbuat ?
Grafik tersebut di atas sebenarnya bercerita banyak hal, diantaranya adalah tidak adanya kesinambungan program dalam pengelolaan kebutuhan kedelai nasional ini. Bila pada tahun 1992 produksi kedelai kita pernah mencapai 1.87 juta ton, kini 24 tahun kemudian produksi kita malah turun tinggal separuhnya - Padahal yang perlu makan tempe bertambah !
Karena harga dibentuk oleh mekanisme supply dan demand, ketika suplly tidak umbuh secepat demand – maka yang terjadi adalah harga yang akan terus melonjak, itupun kalau masih ada yang bisa kita impor.
Walhasil urusan kedelai dan produk-produk turunannya ini adalah masalah besar – yang tidak kunjung teratasi oleh berbagai pemerintahan silih berganti di negeri ini. Jadi apa solusinya sekarang ?
Masalah besar juga berarti peluang besar bagi yang bisa mengatasinya. Ya apa mungkin rakyat bisa mengatasinya ? lha wong pemerintahnya yang memiliki anggaran segudang dan team ahli yang berjibun saja hasilnya – self explanatory - seperti dalam grafik tersebut di atas ?
Saya melihat kemungkinan itu saat ini, di era teknologi informasi – di era sharing economy – masalah-masalah besar bisa diatasi dengan berkolaborasinya masyarakat dalam skala luas. Masyarakat akan bisa berkolaborasi, bila mereka ada yang memberi contoh dan menunjukkan jalan – bagaimana mengatasi problem besar tersebut bersama-sama.
Maka kembali pada contoh Tum Hi Ho tersebut diatas, rakyat dalam jumlah yang sangat banyak ternyata bisa digerakkan oleh sebuah lagu. Tetapi tentu saja bukan lagu seperti Tum Hi Ho yang bisa menyadarkan rakyat dan kemudian menggerakkannya untuk tujuan yang positif – membangkinkan kesadaran untuk menanam sendiri makanan kita, untk swasembada pangan, untuk membangun ketahanan pangan kita sendiri.
Di era revolusi kemerdekaan dahulu, kita digetarkan oleh lagu-lagu mars yang membangkitkan semangat untuk berjuang. Di Gaza dari anak kecil sampai orang tua banyak yang dengan semangat meyenandungkan nasyid-nasyid yang menggugah, yang membuat mereka pantang menyerah dengan boikot dan bahkan serangan zionis yang tidak berperikemanusiaan.
Dan masih segar dalam ingatan kita ketika d awal bulan ini Habib menggetarkan jutaan muslim negeri ini dengan mars bela Islam-nya. Maka itulah kekuatan sebuah marsh atau nashid yang baik, dia bisa menggerakkan kekuatan umat – untuk menyelesaikan masalah-masalah besar bangsa ini.
Daripada anak-anak muda kita dibuai dengan Tum Hi Ho atau lagu-lagu cengeng sejenis yang berjibun di negeri ini, mengapa tidak kita gerakkan mereka dengan mars-mars atau nasyid-nasyid yang menggetarkan hati mereka untuk bekerja dan berjuang – menjalankan perintahNya untuk memakmurkan bumi, untuk memberi makan dan untuk mencegah generasi yang lemah di kemudian hari.
Bila ‘Tum Hi Ho’ yang membuai generasi ini, bisa jadi kita makan tempe-pun tidak akan bisa lagi. Tetapi bila mars-marsh perjuangan dan senandung ilahiah yang menyemangati hati kita ini – maka jangankan makan tempe, merdeka dalam arti yang sesungguhnya-pun kita bisa ! InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar