The CEO
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Dalam sebuah career day, seorang CEO muda dari sebuah perusahaan yang sukses diundang datang ke sekolah anaknya untuk berbagi tentang pekerjaannya. Sebelum dia berbicara, ibu guru yang menjadi host memberi pengantar yang indah-indah tentang prestasi sang CEO kepada murid-muridnya. Kemudian bu guru bertanya kepada muridnya : “siapa yang mau menjadi CEO ?”, semua anak mengangkat tangan sambil berkata : “saya bu guru !”
Ketika giliran sang CEO berbicara, dia ingin meluruskan persepsi anak-anak tentang sebuah prestasi. Kebanyakan orang ingin mencontoh prestasi, padahal prestasi hanyalah akibat. Yang perlu dicontoh adalah usaha atau ikhtiar untuk meraih prestasi tersebut, yang perlu dicontoh adalah sebabnya – bukan akibatnya.
Agar para murid bisa menikmati pelajaran yang berat dalam waktu yang singkat, sang CEO menjelaskan pekerjaannya dengan semacam puisi panjang berikut.
Aku Seorang CEO
Aku datang paling pagi ke kantor untuk menemani dan berbicara dengan para pembersih ruangan yang sedang bekerja, pada jam kantor yang sibuk aku tidak sempat bicara dengan mereka – aku kawatir mereka terabaikan.
Aku juga datang paling pagi ke kantor, agar kantorku siap menerima para karyawan yang sebentar lagi akan berdatangan.
Nanti sore aku akan pulang paling lambat, bukan hanya karena pekerjaanku banyak – tetapi juga untuk menemani karyawan-karyawanku yang belum bisa menyelesaikan pekerjaannya hingga larut. Keluarga mereka menunggu, keluargaku-pun harus juga siap menunggu.
Ketika kantorku sudah sepi, aku berjalan mengelilingi ruang-ruangannya. Karena kesibukan pekerjaannya, karena ditunggu di rumah oleh keluarganya – kadang karyawanku ada yang lupa mematikan computer, lampu dan penyejuk ruangan. Maka inipun tugasku untuk mematikan semuanya.
Di siang hari, silih berganti karyawanku datang ke ruanganku. Mereka mengadukan segala macam persoalan pekerjaannya, mereka merasa lega bila masalahnya sudah dilimpahkan kepadaku. Aku tidak punya siapa-siapa untuk melimpahkan pekerjaanku, tidak ada siapa-siapa untuk melempar tanggung jawabku.
Semua masalah berujung di pundakku, menjadi tanggung jawabku – dan aku baru bisa merasa lega setelah masalah-masalah tersebut terselesaikan satu per satu. Tetapi kelegaan ini tidak bisa berlama-lama.
Esuk hari-hari berulang, masalah baru akan terus bermunculan seiring dengan pertumbuhan perusahaan. Tetapi masalah juga berarti peluang, dan perusahaanku harus mengambil peluang tersebut dengan cara berusaha mampu mengatasi perbagai permasalahannya.
Orang mengira bahwa sebagai CEO akulah yang mengambil gaji paling besar dari perusaahanku, inipun tidak sepenuhnya benar. Aku harus menunggu semua orang di kantorku bisa gajian, baru aku sendiri mengambil gaji secukupnya.
Di akhir tahun, di hari-hari menjelang lebaran – karyawanku sudah menunggu-nunggu haknya, mereka dan keluarganya berbahagia dengan tunjangan hari raya yang memang menjadi haknya. Aku berbahagia bila perusahaanku bisa membayar hak mereka tersebut, kebahagianku sendiri bukan pada saat bisa mengambil hakku – tetapi ketika mampu melaksanakan kewajibanku.
Hak-hak karyawanku dilindungi oleh serangkaian undang-undang tenaga kerja, tetapi tidak ada undang-undang yang melindungi hakku. Yang ada justru serangkian undang-undang dan peraturan yang merenceng kewajibanku, aku tidak bisa menuntut hak – aku harus bisa melaksanakan kewajiban.
Keamanan pekerjaan bagi karyawanku juga terjamin, tidak boleh dipecat sembarangan. Meskipun perusahaan tidak tumbuh sekalipun, tetap itu bukan kesalahan mereka – mereka tetap harus bekerja dan tetap harus menerima kenaikan penghasilan.
Tidak demikian dengan pekerjaanku, pekerjaanku terancam setiap waktu. Dari satu rapat pemegang saham ke rapat pemegang saham berikutnya sudah cukup bagi pemegang saham untuk mengeluarkanku. Bahkan perubahan komposisi kepemilikan saham saja sudah cukup untuk mengancam kelangsungan pekerjaanku.
Setelah menyampaikan ‘puisinya’ tersebut, sang CEO mengembalikan microphone-nya ke bu guru. Bu guru kemudian mengajak anak-anak bertepuk tangan, maka bertepuk tanganlah anak-anak.
Belum puas dengan itu, bu guru kembali menyampaikan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan sebelumnya. “Ayo anak-anak, siapa yang ingin menjadi CEO ?”, hampir seluruh anak berdiam – tidak ada lagi yang angkat tangan, hampir semuanya terdiam dan menggelengkan kepala isyarat ‘tidak’.
Lalu hanya ada satu anak yang mengangkat tangannya dengan malu-malu sambil berkata “ saya bu guru !”. Sang CEO terharu dan meneteskan air matanya sambil berucap: “Alhamdulillah, masih ada penerusku, masih ada yang mau mengambil tanggung jawab dan amanahku, dan memang hanya dibutuhkan satu !”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar