Air dan Bioeconomy
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Hujan baru beberapa hari berlangsung, kita sudah pindah dari satu masalah kekeringan dan kebakaran ke masalah besar baru yaitu kebanjiran. Masalah-masalah tersebut muaranya sama yaitu pengelolaan sumberdaya alam khususnya air. Air adalah sumber semua kehidupan yang tersedia cukup, tetapi tdia tidak turun di sepanjang waktu dan di semua tempat - maka tugas wakilNya di muka bumi antara lain adalah untuk mengelola air ini - agar menjadi berkah bukan menjadi musibah.
Ketika tugas ini tidak kita jalankan dengan baik, maka itulah yang terjadi. Di musim kemarau kita teriak kekurangan air, kita teriak musibah asap. Begitu hujan turun, kita segera lupa dengan problem kekeringan dan asap ini – seolah tidak pernah terjadi, atau seolah kita sudah mengatasinya.
Padahal problem-problem ini dibiarkan berlalu begitu saja, dalam istilah tinju ada saved by the bell – kita babak belur di sudut ring, untungnya kemudian bel berbunyi tanda waktu istirahat. Kita babak belur dihantam kekeringan, kebakaran dan asap tanpa berdaya mengatasinya – alhamdulilah Dia juga yang kemudian menurunkan hujan untuk menghentikannya.
Bukan berarti masalah kekeringan dan kebakaran/asap itu berhasil diatasi, bila kita tidak melakukan perbaikan yang sangat serius – problem yang sama akan terulang beberapa bulan kemudian. Demikian pula banjir, ketika tidak diatasi – maka dia hanya berhenti dengan berkurangnya hujan turun dan memasuki musim kemarau.
Allah mengingatkan sifat manusia ini dalam ayat berikut : “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudaratan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu…" (QS 39:8).
Agar kita tidak melupakan nikmatNya, maka fungsi kalifah di muka bumi itu harus berjalan. Fungsi ini antara lain adalah untuk memakmurkan bumi ini (QS 11:61), dengan mengelola sumber daya yang ada di dalamnya.
Ketika tugas ini tidak kita jalankan dengan baik, maka itulah yang terjadi. Di musim kemarau kita teriak kekurangan air, kita teriak musibah asap. Begitu hujan turun, kita segera lupa dengan problem kekeringan dan asap ini – seolah tidak pernah terjadi, atau seolah kita sudah mengatasinya.
Padahal problem-problem ini dibiarkan berlalu begitu saja, dalam istilah tinju ada saved by the bell – kita babak belur di sudut ring, untungnya kemudian bel berbunyi tanda waktu istirahat. Kita babak belur dihantam kekeringan, kebakaran dan asap tanpa berdaya mengatasinya – alhamdulilah Dia juga yang kemudian menurunkan hujan untuk menghentikannya.
Bukan berarti masalah kekeringan dan kebakaran/asap itu berhasil diatasi, bila kita tidak melakukan perbaikan yang sangat serius – problem yang sama akan terulang beberapa bulan kemudian. Demikian pula banjir, ketika tidak diatasi – maka dia hanya berhenti dengan berkurangnya hujan turun dan memasuki musim kemarau.
Allah mengingatkan sifat manusia ini dalam ayat berikut : “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudaratan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu…" (QS 39:8).
Agar kita tidak melupakan nikmatNya, maka fungsi kalifah di muka bumi itu harus berjalan. Fungsi ini antara lain adalah untuk memakmurkan bumi ini (QS 11:61), dengan mengelola sumber daya yang ada di dalamnya.
Negeri-negeri kaya minyak seperti negeri teluk dan juga negeri kecil tetangga kita, mereka saat ini makmur karena di era fossil-based economy – penggerak ekonomi yang utama adalah bahan bakar fossil.
Ketika jaman berubah dari fossil-based economy menjadi bio-based economy atau bioeconomy, penggerak ekonomi yang utama bukan lagi bahan bakar fossil. Penggerak ekonomi yang utama adalah biomassa yang hidup dan tumbuh baik dari nabati maupun hewani.
Ketika jaman berubah dari fossil-based economy menjadi bio-based economy atau bioeconomy, penggerak ekonomi yang utama bukan lagi bahan bakar fossil. Penggerak ekonomi yang utama adalah biomassa yang hidup dan tumbuh baik dari nabati maupun hewani.
Era bioeconomy ini tergantung kita, apakah kita akan bergerak cepat menyongsongnya atau kita wait and see sampai orang lain mendahului kita. Bila kita ingin menjadi yang unggul di era bioeconomy – maka kita harus pandai mengelola biomassa yang tumbuh dari tanaman maupun hewan.
Sedangkan semua yang hidup ini membutuhkan air, maka pengelolaan air yang terbaik akan menjadi penentu siapa yang akan unggul di era bioeconomy – yang menurut Masyarakat Eropa waktunya tinggal sekitar 15 tahun lagi atau tahun 2030.
Maka kita harus bekerja keras dan bekerja cerdas untuk bisa mendahului mereka. Bagaimana caranya ?
Tugas-tugas besar tentu menjadi bagian dari tugas pemerintah atau pemimpin-pemimpin negeri ini. Namun bukan berarti rakyat seperti kita hanya bisa menunggu dan berharap. Rakyat seperti kita dapat berbuat banyak bila kita berorganisasi atau bersyirkah.
Maka ini termasuk yang dianjurkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa muslim itu bersyirkah dalam tiga hal yaitu lahan, air dan api (energi). Bagaimana mewujudkan perintah yang satu ini ? Ketiganya sesunggunya saling terkait satu sama lain.
Bila kita bisa bersyirkah dalam hal lahan, maka kita akan bisa mengelola air bersama dan kemudian juga bisa menghasilkan api atau energi yang murah bersama-sama. Karena tema tulisan ini air, maka asumsinya kita suda bersyirkah dalam hal pengelolaan lahannya.
Untuk pengelolaan air – intinya hanya masalah pengelolaan dari sisi waktu dan tempat. Airnya sendiri sesungguhnya cukup dan tersedia dalam bentuk aslinya. Kita tidak bisa dan tidak perlu memproduksi komponen dasar dari kemakmuran yang satu ini – yaitu air. Kita hanya perlu mengelolanya – agar di waktu hujan tidak turun kita tetap bisa memiliki air, dan agar di daerah-daerah yang hujannya sedikit mereka dapat memperoleh tambahan airnya dari tempat lain.
Teknik pengelolaan air yang sangat dasar yang sudah berjalan lebih dari seribu tahun itu sebenarnya mudah untuk dihidupkan kembali di jaman modern ini, syaratnya satu – yaitu masyarakat harus bersyirkah itu tadi. Infografik di bawah dapat menjelaskan secara ringkas bagaimana air dapat dikelola sendiri oleh masyarakat yang bersyirkah.
Sifat dasar air adalah mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, maka agar air tidak mudah hilang dari permukaan bumi dan menjadi asin karena bercampur dengan air laut di muara-muara sungai – laju aliran air ke laut harus dihambat, bukannya malah dipercepat.
Caranya adalah dengan membuat semacam parit yang posisinya melintang dari arah datangnya air. Galian dari parit-parit ini kemudian dijadikan tanggul yang ditanami tanaman-tanaman untuk dua fungsi sekaligus, yaitu agar menguatkan tahanan terhadap air dan tanaman produksi.
Dengan adanya parit dan tanaman ini, air yang tertahan akan meresap ke dalam tanah, menghadirkan kesuburan, menghadirkan tanaman-tanaman baru dan ujungnya menaikkan permukaan air tanah.
Permukaan air tanah yang meninggi akan menghadirkan mata air-mata air di sejumlah permukaan tanah yang ketinggiannya lebih rendah dari permukaan air tanah tersebut. Mata air-mata air ini bersama dengan air hujan kemudian dapat mengisi kantong-kantong air baik yang terjadi secara alami maupun yang sengaja kita buat.
Dari kantong-kantong air berupa kolam, embung, waduk sampai danau inilah kemudian manusia dapat mendistribusikan air ke tempat-tempat yang jauh yang membutuhkannya.
Seribu tahun lalu insinyur-insinyur muslim pada jamannya telah mampu mengirimkan air ke tempat-tempat yang jauh, air bisa dikirim melalui saluran bawah tanah yang ada di padang pasir dengan apa yang disebut qanats. Air bahkan dapat dikirim ke tempat-tempat yang lebih tinggi melawan grafitasi dengan teknik yang sudah sangat canggih saat itu – secanggih mesin-mesin jam karena insinyur-insinyurnya juga sama seperti Al-Jazari yang dikenal sebagai bapak penemu jam di dunia.
Kini berbagai teknologi pompa dan pipa sudah sangat banyak pilihannya, maka mengalirkan air ke tempat-tempat yang jauh, maupun ke tempat-tempat yang lebih tinggi mestinya menjadi lebih mudah.
Tinggal kemauan kita yang kuat, apakah kita akan membiarkan air menjadi musibah ketika dia ada maupun ketika dia tidak ada. Atau kita akan mengelolanya sehingga fitrah air dapat kembali, bahwa dia menjadi berkah ketika datangnya. Dan berkah itu tidak pernah menghilang karena air tidak pernah menghilang dari permukaan bumi, bila saja kita bisa mengelola dari sisi waktu dan ruangnya.
Air adalah sumber kehidupan, barang siapa bisa mengelola air terbaik – maka dialah yang bisa mengelola kehidupan terbaik. Bila negeri-negeri kaya saat ini adalah negeri petrodollar – negeri yang kaya minyak, di masa mendatang ini tidak lagi demikian. Akan tiba masanya negeri yang kaya adalah negeri yang airnya banyak dan mereka pandai mengelolanya – barangkali saat itu sebutannya adalah negeri hydrodollar – kalau saja dollar masih bisa bertahan sampai satu atau dua dasawarsa kedepan. Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar