Agar Musim Semi Datang Kembali
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Di awal-awal tahun kemerdekaan kita tepatnya tahun 1953 seorang ulama Damaskus (Suriah) Syeikh Ali Thantowi berkunjung ke Indonesia. Dari kunjungannya ini beliau menulis buku yang berjudul Shuwarun Minassyarq Fi Indonesia – Potret Dari Timur di Indonesia. Buku ini merupakan ungkapan kekaguman sang Syeikh atas ciptaanNya yang paling indah di muka bumi ini yaitu Jawa. Seandainya beliau masih hidup dan berkesempatan keliling Jawa lagi kini, beliau mungkin akan menangis tersedu-sedu melihat kondisi Jawa kini. Mengapa ?
Bumi Jawa yang beliau saksikan pada tahun 1953 digambarkannya sebagai negeri yang seolah selalu berada dalam kondisi musim semi – pohon-pohonannya tumbuh sepanjang waktu. Beliau saksikan kesuburan bumi jawa yang merata, digambarkannya sebagai pemandangan hijau yang tidak ada awal dan akhirnya – kehijaun membentang sepanjang cakrawala. Bahkan beliau simpulkan, inilah bumi Allah yang paling kaya !
Beberapa bulan terakhir saya banyak sekali melakukan perjalanan sepanjang Jawa, dari Banten, Indramayu, Majalengka sampai Gunung Kidul, Sukoharjo dan Wonogiri. Dari apa yang saya saksikan di musim kemarau, sulit membayangkan – bahwa ini dahulunya adalah bagian dari bumi yang hijau yang dikagumi Syeikh Thantowi tersebut.
Bahkan oleh sebagian orang jawa yang menjadi korban banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau – jawa kini disebutnya dengan istilah “rendheng ora iso ndodok, ketigo ora iso cewok – musim penghujan tidak bisa duduk (karena banjir) , musim kemarau tidak bisa cebok (karena tidak ada air)”.
Baru dalam beberapa dasawarsa, belum juga satu abad berlalu – mengapa begitu drastis perubahan yang ada di pulau tempat mayoritas penduduk tinggal di negeri ini ? Pasti ada yang seriously wrong dari generasi kita ini dalam mengelola buminya yang dahulu sangat indah.
Pohon-pohon ditebang membuat tanah tidak lagi bisa menyerap air hujan yang turun melimpah. Ke dalam sawah-sawah dibenamkan berton-ton pupuk dan obat kimia yang malah membuat sawah tidak lagi subur dan cenderung rusak. Dengan tingkat kesuburan yang terus menurun, tidak lagi ada gairah untuk bercocok tanam sepanjang waktu.
Kita tentu tidak ingin mewariskan bumi yang seperti ini pada anak cucu kita kelak, apalagi yang lebih buruk dari ini. Kita harus bisa membalik arah dari pemburukan menjadi perbaikan terus menerus. Bagaimana caranya ?
Petunjuk untuk ini sebenarnya sudah sangat jelas, yaitu kembali ke jalanNya (QS 30:41)
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS 30:41)
Dalam segala hal urusan kita, kita harus bisa kembali kejalanNya bila kita ingin dapat melakukan perbaikan itu – termasuk ketika kita ingin mengembalikan kesuburan dan keindahan Jawa ini.
Kembali ke jalanNya tidak berarti kembali ke masa lampau, justru sebaliknya – bisa sangat maju mendahului ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada pada jamannya. Illustrasi dalam infografik dibawah dapat menjadi contoh, betapa Ilmu yang digali dari Al-Qur’an terbukti mendahuli ilmu-ilmu manusia modern jaman ini.
Manusia modern baru menemukan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman seperti Nitrogen, Phosphor dan Kalium di kisaran abad 17-19, demikian juga dengan proses fotosintesa tanaman. Al-Qur’an telah membahasnya lebih dari 1,000 tahun sebelumnya.
Bahwa tanaman butuh sinar matahari yang sangat kuat dan air yang banyak untuk proses fotosintesanya (QS 78:13-14), dari sinilah akan dihasilkan buah-buahan yang kaya akan energi untuk makanan manusia. Fotosintesa tidak terjadi bila tidak ada sinar matahari dan tidak ada air, maka sungguh beruntung negeri seperti kita yang memiliki keduanya (dahulu) sepanjang waktu.
Di negerinya Syeikh Thantowi yang mengalami empat musim, ada musim gugur (dinamai demikian) karena saat itu dedaunan hijau mulai berubah warna untuk menghentikan proses fotosintesanya, daun kemudian jatuh dan sepanjang musim dingin – pohon sama sekali tidak mengalami pertumbuhan.
Di musim semi, barulah muncul kembali pucuk-pucuk daun hijau menandai bermulanya kembali aktifitas fotosintesa dan tanaman kembali tumbuh. Ketika musim panas tiba, kadang udara terlalu panas yang membuat tanaman juga berhenti tumbuh. Untuk pohon kurma misalnya, mereka berhenti tumbuh ketika suhu lebih rendah dari 4 derajat celcius atau lebih tinggi dari 40 derajat celcius.
Dengan kerasnya fluktuasi iklim di negeri 4 musim tersebut, maka tidak heran bila Syeikh Thantowi menggambarkan negeri inilah yang sangat beruntung seperti mengalami musim semi sepanjang waktu.
Sayangnya kita kurang mensyukuri nikmatNya tersebut, sangat sedikit kita yang mau menanam pohon – sedangkan yang mau menebangnya begitu banyak dengan berbagai alasannya. Padahal prasyarat utama untuk musim semi sepanjang tahun itu sudah diberikan ke kita – yaitu matahari yang terus bersinar dengan kuatnya sepanjang tahun, dan curah hujan yang sangat cukup untuk mengairi lahan-lahan kita sepanjang waktu juga – bila saja kita mau mengelolanya.
Bahkan lebih dari itu Allah juga berikan petunjukNya yang sangat detail agar kita bisa menikmati buah-buahan yang beraneka ragam. Perhatikan petunjuknya di dua ayat berikut misalnya :
“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS 16:10-11)
Sekarang perhatikan apa yang terkandung dalam buah kurma di infografik di atas. Bila karbohidrat datangnya dari proses fotosintesa yang mengubah air dan karbon diokside dengan bantuan sinar matahari menjadi karbohidrat dan oksigen, lantas dari mana protein, vitamin dan mineral berasal ?
Perhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam kotoran domba di infografik yang sama, lihat kemiripannya dengan kandungan yang ada di buah kurma. Maka dari situlah kita bisa melihat relevansinya, mengapa kita disuruh menggembala di tempat turunnya hujan dan di tempat tumbuhnya pohon.
Karena hewan ternak gembalaan kita akan memberikan hara sebagai bahan dasar yang cukup untuk pohon-pohon menghasilkan buah terbaiknya, kalau saja kita bertani dengan menggunakan petunjukNya ini, bumiNya tidak akan pernah kita rusak dengan zat-zat kimia.
Bila buminya tidak kita rusak, maka tumbuhan dari jenis biji-bijian dan pepohonan akan tumbuh dimana-mana sepanjang waktu. Itulah musim semi yang tidak pernah berhenti menurut Syeikh Ali Thantowi tersebut. Bola tinggal di kita sekarang – apakah kita akan tetap diam membiarkan kerusakan alam terus terjadi, atau kita mulai terlibat dalam membuat perbaikan yang kita mampu melakukannya. InsyaAllah kita bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar