Trilemma Beras dan Petani Cerdas
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Kalau (istri) Anda pergi ke pasar hari ini membeli beras medium, hampir dapat dipastikan harganya sudah di atas Rp 10,000/kg. Harga ini sesungguhnya lebih dari dua kali dari harga beras internasional saat ini, karena tiga eksporter beras terbesar dunia bersaing ketat dengan harga yang jauh lebih murah dari beras kita. Dua dari tiga besar eksporter beras tersebut anggota ASEAN, yaitu Thailand dan Vietnam – sedang yang lain adalah India. Lantas apakah kita impor saja beras kebutuhan kita tersebut agar rakyat dapat beras murah ? Tidak sesederhana ini jawabannya.
Rata-rata harga ekspor beras Thailand yang kurang lebih sama dengan beras medium kita tahun ini (sampai November 2015) menurut data FAO adalah US$ 326 /ton atau sekitar Rp 4,500/kg. Sedangkan yang dari Vietnam harga rata-ratanya US$ 333 atau sekitar Rp 4,600/kg. Setelah ditambah biaya angkut, pajak dlsb. jatuhnya masih jauh lebih murah dari beras kita.
Di lain pihak, harga beras kita yang di atas Rp 10,000 tersebut juga sebenarnya tidak berlebihan apabila dilihat struktur biaya produksinya. Harga gabah kering panen di tingkat petani berada di kisaran Rp 4,500,- /kg harga gabah kering gilingnya di kisaran Rp 5,300,-/kg. Dari gabah ke beras rendemennya di kita rata-rata sekitar 63 % , jadi harga pokok beras belum termasuk biaya-biaya proses, tranportasi dlsb – sudah Rp 8,400,-. Maka sangat wajar bila beras medium sampai ke tangan konsumen sudah di atas Rp 10,000/kg.
Dari sinilah muncul apa yang saya sebut dengan trilemma beras, tiga pilihan pelik yang tidak mudah untuk memutuskannya.
Pertama bagi rakyat kebanyakan seperti kita-kita ini, beras yang kwalitasnya baik tetapi murah tentu yang kita cari. Bila hanya faktor harga ini yang menjadi penentu, maka impor beras dari Thailand atau Vietnam yang bersaing ketat tentu dapat menjadi pilihan.
Tetapi pilihan ini akan menjadi pukulan telak bagi para petani padi kita, karena harga produk mereka menjadi tidak bersaing. Dampaknya mereka akan enggan menanam padi, produksi beras nasional akan cenderung turun dan efek jangka panjangnya akan melemahkan ketahanan pangan kita secara keseluruhan.
Masalah lain adalah bila suatu saat supply dari negara-negara pengekspor tersebut karena satu dan lain hal terganggu, maka harga beras kita justru akan meningkat tidak terkendali – persis seperti di meksiko ketika terjadi huru hara tortilla.
Kedua, semata mengandalkan produksi beras secara tradisional seperti selama ini – yang kita tahu ongkos produksinya sampai menjadi gabah kering giling saja sudah begitu tinggi, juga bukanlah sesuatu yang ideal. Ongkos dari kemahalan biaya produksi dibandingkan dengan negeri-negeri tetangga di ASEAN produsen beras tersebut – sebenarnya kembali menjadi beban rakyat Indonesia kebanyakan.
Biaya kemahalan tersebut ujungnya kan harus ada yang membayar, dan siapa yang membayar ? adalah para konsumen – yaitu rakyat Indonesia keseluruhan – yang juga tidak semuanya mampu. Di antara rakyat Indonesia ini ada sekitar 29 juta orang miskin, dan bahkan 20 juta diantaranya masih tidur malam dalam kondisi lapar. Kalau saja beras bisa ditekan harganya tinggal sekitar separuh – atau masih sedikit di atas harga beras ekspornya Thailand dan Vietnam, maka ini akan banyak sekali menolong rakyat yang masih miskin dan lapar tersebut.
Ketiga, Indonesia mungkin saja bisa produksi beras secara sangat efisien yang dilakukan dengan mekanisasi pertanian di tanah-tanah yang masih sangat luas seperti di Irian Jaya atau Kalimantan. Tetapi yang bisa melakukan ini tentu hanya para pemodal besar saja.
Apa buruknya kalau pemodal besar terjun ke bisnis yang semula ditangani rakyat petani kebanyakan ini ? dampak buruknya akan seperti warung-warung tradisional di sekitar kita yang tersapu habis oleh jaringan maret-maret yang menyerbu setiap jengkal jalan yang kita lalui.
Jalan di depan komplek perumahan saya panjangnya hanya sekitar 2 km, tetapi saat ini saja sudah ada enam maret-maret yang beroperasi dan yang ke 7 nampaknya juga sudah mendapatkan ijin. Seperti kapital besar yang menyapu habis bisnis retail tradisional inilah kira-kira nasib petani tradisional ketika para konglomerat ikut terjun di produksi bahan pokok pangan seperti beras tersebut.
Kita mengenal ungkapan dilemma, dimakan ibu mati – tidak dimakan bapak mati – lalu kita masih bisa berseloroh dijual saja – agar tidak ada yang mati. Trilemma lebih njlimet dari itu, dimakan ibu mati – tidak dimakan bapak mati – dijual anak yang mati.
Maka menyelesaikan trilemma juga menjadi sangat rumit karena semua pilihannya sulit. Sayapun tidak berpretensi bisa menyelesaikan masalah yang sulit ini, tetapi setidaknya berikut adalah yang mungkin bisa ditempuh dengan efek samping yang minimal. Solusi ini melibatkan seluruh pihak yang terkait termasuk kita-kita.
Pertama dari sisi pemerintah, adalah tugas mereka untuk berlaku adil sehingga setiap permasalahan diselesaikan secara berkeadilan untuk kepentingan rakyat – bukan kepentingan golongan tertentu. Dalam tugas ini pula, pemerintah harus menahan selama mungkin untuk tidak mengimpor bahan pangan beras kecuali dalam kondisi memaksa – misalnya produksi dalam negeri bener-bener kurang.
Sementara itu para petani juga harus bener-bener disiapkan untuk menjadi para petani cerdas dan efisien, agar pada waktunya nanti – ketika pemerintah tidak lagi bisa menahan kebutuhan impor beras – para petani cerdas ini juga sudah siap dengan berbagai alternatifnya.
Bagaimana menjadikan para petani kita menjadi petani yang cerdas ? infografik dibawah adalah salah satu caranya. Intinya para petani diajari untuk bisa mengoptimalkan hasil pertanian mereka. Bahwa bertani bukan hanya beras, bahkan banyak produk pertanian – yang bernilai tinggi , yang akan mampu bersaing secara global.
Mereka para petani akan selalu dapat ditingkatkan pendapatan mereka bila dari waktu ke waktu bisa ditingkatkan penguasaan teknis produksinya, dan bersamaan dengan itu juga ditingkatkan penguasaan akses pasarnya.
Bagi kita rakyat kebanyakan, kita juga bisa terlibat dalam membantu negeri ini membangun ketahanan pangan dan pada saat bersamaan membantu kesejahteraan para petani – yaitu antara lain dengan cara men-diversifikasi pangan kita.
Kita punya sumber bahan pangan yang sangat banyak ragamnya di dalam negeri, jadi kita harus bisa merubah mindset kita. Tidak lagi pokoknya harus makan beras – meskipun harus diimpor. Kita ubah menjadi pokoknya harus makan bahan pangan yang dihasilkan di negeri ini sendiri, meskipun itu bukan beras.
Makan beras terus menerus juga tidak selalu baik untuk kesehatan kita, maka bila diversifikasi pangan ini yang kita lakukan – kita bukan hanya menyehatkan ekonomi kita secara keseluruhan – tetapi juga menyehatkan badan-badan kita. InsyaAllah.