2035
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Saya ‘bermimpi’ berada di tahun 2035, tahun di mana krisis bahan bakar mencapai puncaknya. Sudah setahun lebih China kehabisan cadangan minyaknya (2034), menyusul India yang telah habis setahun sebelumnya (2033). Krisis bahan bakar di dua negeri yang populasi masing-masingnya di atas 1.5 milyar ini (2035), membuat perebutan bahan bakar yang tersisa di dunia menjadi sangat brutal.
Krisis besar sebenarnya sudah bermula beberapa tahun sebelumnya ketika negara-negara berpenduduk terbesar ketiga dan keempat dunia kehabisan bahan bakarnya hampir bersamaan, yaitu Amerika Serikat dan Indonesia (2027). Hampir bersamaan dengan itu pula sejumlah negara maju seperti Inggris, Jerman dan Perancis juga telah kehabisan bahan bakar minyaknya lebih dahulu.
Sejumlah negera memang masih bisa memproduksi bahan bakar minyak, di antaranya adalah Saudi Arabia, Canada, Russia, Iraq, Iran, Kuwait dan Nigeria. Tetapi karena kebutuhan dunia yang sangat besar saat itu dibanding supply yang ada, maka negara-negara yang masih punya minyak ini menjadi sangat berkuasa.
Minyak mereka dijual ke negara-negara yang mampu membayarnya dengan harga yang sangat tinggi, sehingga hanya China dan Amerika yang mampu bersaing habis-habisan untuk sebanyak mungkin menguasai supply minyak yang masih tersisa.
Semetara itu Indonesia dan India yang total penduduk di dua negara ini mencapai dua milyar lebih saat itu , harus menghabisan seluruh devisa yang dihasilkan untuk sekedar dapat mengimpor bahan bakar minyak yang harganya sudah meroket – dari sisa-sisa perebutan antara Amerika dan China. Inipun masih harus bertarung dengan kekuatan negara-negara Eropa yang juga desperately berburu minyak.
Walhasil target zero poverty dan zero hunger yang seharusnya sudah tercapai lima tahun sebelumnya (2030) menjadi jauh panggang dari api. Bagaimana bisa menumbuhkan ekonomi, mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan kelaparan – bila bahan bakar untuk memutar ekonominya saja tidak ada.
Yang terjadi saat itu adalah blame-game , orang saling menyalahkan satu sama lain. Di Indonesia misalnya, partai yang berkuasa saat itu menyalahkan partai-partai yang berkuasa sebelumnya, yang tidak menyiapkan negeri ini untuk menghadapi krisis bahan bakar minyak – padahal harusnya sudah terdeteksi gejalanya, sudah terbaca datanya – setidaknya sejak dua puluh tahun sebelumnya.
Partai-partai dari pemerintahan sebelumnya yang disalahkan, alih-alih mengakui kesalahannya dalam kegagalannya membuat perencanaan jangka panjang, malah mereka mengajak masyarakat merindukan kejayaan masa lampaunya – ‘ enak jamanku to ‘ – ketika bahan bakar masih ada.
Pemandangan umum yang ada saat itu adalah mobil-mobil rongsok yang numpuk di jalan-jalan karena sudah sejak beberapa tahun tidak lagi ada bahan bakar untuk menjalankannya. Demikian pula pabrik-pabrik, tidak banyak yang masih bisa beroperasi karena kelangkaan bahan bakar ini.
Listrik masih tersedia karena pembangkit bertenaga air masih bisa jalan, demikian pula yang berbahan bakar gas maupun batubara. Masalahnya adalah karena energy yang tersisa ini harus dipakai untuk memenuhi begitu banyak keperluan, tidak semuanya kebagian – tidak semua layanan public bisa beroperasi.
Pemadaman listrik berjam-jam menjadi hal yang lumrah, demikian pula antrian panjang orang untuk menunggu kesempatannya terangkut oleh public transport yang sangat overloaded, antrian untuk membeli kebutuhan bahan pokok, antrian layanan kesehatan dan perbagai antrian lainnya mengular di jalan-jalan setiap hari – karena hidup serba antri saat itu.
Dalam kelelahan antrian demi antrian inilah saya terbangun dari ‘mimpi buruk’ ini, saya lihat tanggal, bulan dan tahun di kalender. Alhamdulillah, kita masih hidup di tahun 2017 – ketika negeri ini masih punya waktu sekitar 10 tahun sebelum cadangan minyak kita habis. Cadangan ini juga masih bisa diperpanjang beberapa tahun bila kita bijak menggunakan BBM.
Tetapi berhemat saja juga memang tidak akan bisa cukup, kita harus mampu menemukan dan menghasilkan sumbe-sumber energy baru dan terbarukan. Dan petunjukNya untuk ini sebenarnya sudah sangat jelas dan terbukti, sumber energy atau api yang abadi itu disebutkan di Al-Qur’an, yaitu dari kayu (QS 36:80 ; 56:71-72). Tinggal kemampuan manusia pada masing-masing jaman untuk mengaplikasikannya dalam bentuknya yang paling efektif.
Dahulu kayu digunakan untuk menghasilkan api apa adanya, sehingga cukup pada jamannya – namun tidak terbayang untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang. Lalu seabad terakhir manusia menggunakan kayu yang tumbuh jutaan tahun silam yang telah menjadi fossil, semua mobil dan bahkan pesawat terbang digerakkan oleh bahan bakar fosiil ini.
Tantangan kedepannya adalah bagaimana kembali menggunakan kayu sesuai dengan jamannya – ketika fossil-based fuel benar-benar habis seperti dalam ‘mimpi ilmiah’ saya tersebut di atas – karena didukung datanya dari berbagai sumber yang reliable di dunia saat ini.
Ada setidaknya dua hal yang sudah bisa kita lakukan saat ini – teknologynya insyaallah semuanya siap tinggal ditingkatkan dari waktu ke waktu. Pertama menggunakan ‘kayu’ dalam bentuk salah satu hasil tanamannya – yang disebut essential oil. Minyak ini bisa digunakan untuk bioadditive yang dapat menghemat penggunaan bahan bakar sampai 25-40 %, sehingga kita memiliki waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan energy alternative yang lebih sustainable.
Yang kedua pilihan saya dari teknologi yang available saat ini untuk menjadikan kayu sebagai bahan bakar segala macam mesin dari mobil sampai mesin jet bila perlu, adalah apa yang disebut syngas atau synthesis gas. Ini adalah campuran dari hydrogen, corbon monoksida dan kadang juga carbon dioksida. Prosesnya saat ini dikenal dengan gasifikasi, sedangkan bahan baku utamanya – ya itu tadi – apa saja yang tumbuh. Dari pohon, daun, sisa-sisa limbah pertanian dan bahkan juga limbah perkotaan.
Essential oil sebagi additive dan syngas sebagai bahan bakar alternative , bila kita hanya berfikir untuk saat ini tentu kita akan mempertanyakan dan bahkan memperdebatkan efektivitasnya, kepraktisannya dlsb. Tetapi bila visi kita panjang seperti ‘mimpi’ saya sampai tahun 2035 tersebut misalnya, maka sangat bisa jadi itulah salah satu pilihan kita yang masuk akal saat itu.
Bisa saja bersamaan dengan itu berbagai sumber energy lain juga digali dan dikembangkan, seperti matahari, angin, laut dlsb. Pada waktunya semuanya akan dibutuhkan. Tidak ada sumber energy yang salah untuk digali, yang salah adalah yang tidak mau menggalinya.
Dan kita hanya akan siap dengan segala macam teknologi yang dibutuhkan untuk meningkatkan efektifitas dan kepraktisannya, bila kita mulai dari sekarang merintisnya. Maka dibutuhkan rintisan-rintisan yang dalam bahasa sekarang disebut startups, yang mulai berfikir dan bervisi panjang di bidang energy ini. Bila Anda orangnya, bisa menghubungi Indonesia Startup Center melalui email : ceo@iou.id.
Kita harus bisa mulai menanam energy, bukan hanya menambangnya ! InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar