Men-Disrupt Kejumudan
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Kalau kita harus impor gandum, saya masih bisa paham – lha wong kita terlanjur suka makan roti dan mie sedangkan gandum tidak ditanam di negeri ini. Impor kedelei ? saya mulai kurang paham karena kedelai bisa tumbuh dimana saja di negeri ini, demikian pula dengan impor gula – kita menanam tebu sejak jaman Belanda. Yang membuat saya sungguh sangat tidak paham adalah mengapa kita harus impor garam ? Lha wong kita negeri bahari dengan total pantai yang terpanjang di dunia, masak harus impor garam sih ? pasti ada yang very-very seriously wrong dalam pengelolaan sumber daya alam kita !
Dan impor kita tidak tanggung-tanggung, bila pada umumnya setiap bulan kita mengimpor antara 100,000 – 300,000 ton dari Australia, India, China dan bahkan juga dari Jerman ! Bulan April 2017 lalu kita mulai melampaui angka psikologis atas – menjadi 320,000 ton. Dan tidak berhenti disini, impor garam masih akan terus meningkat. Mengapa ?
Menurut Assosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) kebutuhan garam kita – mayoritas kebutuhan untuk industri – mencapai 4.1 juta ton per tahun, sedangkan produksi nasional garam kita hanya di kisaran 1.7 – 1.8 juta ton per tahun. Artinya, lebih dari separuh kebutuhan garam kita harus diimpor.
Pertanyaannya adalah, mengapa kita tidak memproduksi cukup ? bukankah bahan baku melimpah di negeri ini ? Pertanyaan inilah yang harus dijawab. Dan yang menjawab jangan unsur pemerintah, karena kalau yang menjawab mereka – jawabannya sudah keluar, yaitu impor saja untuk memenuhi selisih antara kebutuhan dan produksi.
Juga jangan dijawab oleh para pedagang garam, sederhana – mereka akan memilih untung yang paling mudah dan cepat – lagi-lagi dengan meng-impor saja. Jangan pula oleh para pengamat, karena mereka penonton sepak bola – bisa berkomentar tetapi tetap mereka tidak bisa main bola.
Jangan oleh para politikus, karena isu garam-pun bisa menjadi komoditi politik. Jangan pula hanya menjadi kajian akademis, untuk skripsi S1 sampai S 3 – karena setelah mereka lulus mendapatkan gelar sarjana atau bahkan Doktor – karya mereka akan berakhir di perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi.
Jadi siapa yang harus menjawab tantangan garam ini ? Berikan dia pada anak-anak muda – ataupun yang berjiwa muda - yang inovatif dan kreatif, yang bisa melihat tantangan besar sebagai peluang besar. Yang melihat penakhlukan masalah besar ini sebagai misi hidupnya, sebagai alasan mengapa dia dilahirkan !
Betul kita diciptakan hanya untuk beribadah kepadaNya, tetapi ibadah itu luas – ada yang fardu a’in , ada yang fardhu kifayah. Fardhu a’in insyaAllah kita selalu berusaha melaksanakannya, tetapi bagaimana dengan fardhu kifayah ?
Fardhu kifayah bukan hanya memandikan dan mensholatkan jenazah, fardhu kifayah termasuk menyelesaikan urusan-urusan yang dihadapi umat, harus ada sebagian dari umat ini yang menyelsaikannya – bila tidak, maka umat secara keseluruhan akan menderita akibatnya.
Bayangkan kalau garam ini menjadi terlalu mahal untuk sebagian masyarakat, maka makanan apapun menjadi tidak enak bila dia tidak ada. Dan bukan hanya ini, garam memiliki kedudukan tersendiri dalam komoditi utama di perdagangan Islam. Dia disebut bersama emas, perak, gandum, beras gandum, kurma.
“(Jual Beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras gandum dengan beras gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam harus sama berat dan dari tangan ke tangan (tunai), bila jenisnya berbeda lakukan sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (tunai)”
Artinya adalah sebagaimana abadinya agama ini hingga akhir jaman, maka urusan garam akan tetap menjadi urusan yang utama bagi umat – sama dengan urusan tentang emas, gandum dan kurma. Bayangkan kalau ngurus garam saja kita tidak bisa, bagaimana bisa mengurus yang lain ?
Jadi siapa yang akan menangani urusan garam yang sangat penting bagi kehidupan umat ini ?
Ketika kota-kota besar di dunia tidak ada yang sanggup mengatasi kemacetan, ada perusahaan-perusahaan startup – yang tumbuh dengan amat sangat cepat – seperti Uber, Go-Jek dan lain sebagainya. Mereka tentu tidak juga bisa mengatasi kemacetan, tetapi setidaknya mereka-mereka ini bisa ‘mengakali’ kemacetan itu.
Ketiga terjadi ketimpangan pasar, dimana hanya yang kaya yang mampu menyewa kios-kios pasar yang mahal, jalur-jalur perdagangan strategis didominsai segelintir pemain – bergaya kartel, muncul startup model seperti Bukalapak dan teman-temannya yang memberi harapan dan peluang bagi si kecil dan menengah yang tentu juga ingin cepat besar.
Dan setelah 70 tahun merdeka, tujuh presiden berganti – petani tidak kunjung ikut ‘merdeka’, mereka menjadi bagian dari masyarakat yang daya belinya tidak kunjung terangkat – hingga anak-anak petani-pun harus mau jadi presiden, dokter dan insinyur – ada iGrow yang mengajak mereka untuk kembali mau bertani juga – tidak ada salahnya untuk tetap menjadi petani !
Dengan contoh-contoh tersebut, maksud saya adalah begini – kita harus bisa mem-disrupt kejumudan pemikiran kita, karena tanpa pemikiran yang disruptive ini – kita akan terus dihadapkan pada masalah-masalah yang sulit kita pahami – seperti impor garam dari Jerman tersebut di atas !
Namun agar tidak berhenti seperti pemain bola yang hanya bisa berkomentar, agar Allah tidak marah karena kita hanya bicara tanpa berbuat – ayo kita buktikan bareng-bareng bahwa kita bisa mengatasi masalah garam yang besar ini menjadi peluang besar. Tertarik ? silahkan kirim email dengan ide Anda – maksimal 2 halaman atau 2 menit presentasi, keriman ke :ceo@iou.id (I Owe You Indonesia !)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar