Kecerdasan Zaman
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Ketika manusia masih hidup nomaden, yang bisa berburu dan membuat api sudah menjadi orang yang cerdas pada zamannya. Ketika peradaban pertama muncul, manusia mulai menetap dan menanam bahan makanannya sendiri – dibutuhkan kecerdasan baru, yaitu kemampuan untuk memahami tanah dan mengenal biji-bijian. Zaman terus berubah dan manusia dituntut untuk terus mengasah kecerdasannya – agar dia bisa tetap lebih cerdas dari kompleksitas permasalahan kehidupannya. Dari mana dia bisa terus belajar agar tidak tersesat di zamannya ? Itulah gunanya petunjuk !
Bukan hanya makhluk cerdas seperti manusia, seluruh ciptaanNya yang lain juga diberi petunjuk sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Tanaman diberi petunjuk hara apa yang dia perlu hisap dari tanah, lebah diberi petunjuk bunga-bunga apa yang nectarnya bisa menjadi obat, domba di padang gembalaan diberi petunjuk untuk tahu bila ada tanaman yang beracun dst.
Paket mulai dari penciptaan, penyempurnaan, penentuan kadar dan pemberian petunjuk inilah yang dijanjikan oleh Allah melalui rangkaian ayat-ayat pendek berikut : “Sucikan nama Rabb-mu Yang Maha Tinggi, Dia Yang Menciptakan lalu menyempurnakannya, Dia Yang menentukan ukuran-nya masing-masing dan memberinya petunjuk” (QS 87 : 1-3)
Petunjuk yang inherent – melekat pada diri kita itulah yang menjadi instrument penjaminan agar kita tidak tersesat. Jangankan kita, lebah yang amat kecil-pun mampu terbang sangat jauh dan balik kerumahnya tanpa harus tersesat – karena dia diberi petunjuk (QS 16 :68-69), apalagi manusia. Kunci-kunci pembuka segala problem kehidupannya ya ada di petunjuk tersebut.
Lantas mengapa begitu banyak urusan kehidupan kita seolah tidak atau belum terselesaikan dengan baik ? urusan ekonomi, politik, keamanan, pangan, kesehatan dlsb ? Ya karena kebanyakan manusia di zaman ini mengabaikan petunjuk tersebut.
Lebah mampu mencari bunga-bunga di hutan dan mengambil obat untuk manusia – karena dia mengikuti petunjukNya. Sebaliknya manusia yang mengeksplorasi hutan yang sama, bukannya mendapatkan obat tetapi menimbulkan penyakit bagi sesamanya – dengan membakar hutan dan menebarkan asap – karena dia mengabaikan petunjukNya.
Petunjuk itu ada di rumah-rumah kita, bahkan ada apps di hp-kita dan kita bawa kemanapun kita pergi, sebagian kita bahkan bisa menghafal seluruh petunjuk yang ada – mengapa kita tidak kunjung juga menjadi umat yang cerdas, yang diunggulkan oleh Allah dari umat yang lain (QS 3 :139) ? barangkali penyebabnya adalah karena kita belum berhasil memahami petunjuk itu untuk kita yang hidup di zaman ultra informasi ini.
Maka kami berusaha memahami petunjuk itu dengan meng-ekstrak informasi menggunakan teknologi yang ada di jaman ini, Anda juga bisa melakukannya menggunakan apa yang kami kembangkan di Huda.id – hanya saja dia masih jauh dari sempurna, sehingga hasilnya perlu diolah lagi.
Saya ambil contoh tentang kecerdasan Zaman yang ada di judul tulisan ini, bagaimana kita bisa lebih cerdas dari kompleksitas permasalahan kehidupan di zaman ini ? Kuncinya adalah bagaimana kita menguasai inti dari setiap persoalan yang kita hadapi.
Orang-orang yang menguasai inti setiap persoalan (lubb) di dalam Al-Qur’an disebut sebagai Ulul Albab. Ada belasan ayat di Al-Qur’an yang mengungkap keberadaan para Ulul Albab ini dan kepada mereka ini diberi sifat atau karakternya masing-masing. Kalau saya buat mappingnya, maka kurang lebih hasilnya akan seperti dalam ilustrasi di bawah ini.
Kita lihat yang paling menonjol dari para Ulul Albab adalah karakternya ber-Dzikir , lihat dari hampir keseluruhan ayat tentang Ulul Albab tersebut terkoneksi dengan karakter ber-Dzikir ini. Pengertian ber-dzikir yang terkait Ulil Albab ini juga dijelaskan langsung dengan salah satu ayatNya yaitu terus mengingatNya sambil berdiri , sambil duduk , bahkan sambil tiduran.
Tidak berhenti disini, dia juga terus memikirkan ciptaanNya di langit dan dibumi, sampai dia memahami ketidak sia-siaan semua ciptaannya itu, kemudia dia mensucikan Rabb-nya, menyadari kekurangannya dan mohon untuk tidak dihukum di neraka (QS 3:191). Dari penjelasan tentang karakter dzikir ini saja kita sudah bisa tahu kekurangan kita – mengapa kita tidak cerdas-cerdas, tidak kunjung unggul seperti yang dijanjikanNya – ya karena kita belum berdzikir seperti yang dijelaskan di ayat ini.
Selain karakter dzikir ini, juga ada sejumlah karakter lain yang menonjol dan disebut di sejumlah ayat, antara lain mereka adalah orang yang beriman, bertakwa, melanggengkan sholat malam, terus memikirkan ciptaanNya. Mereka juga orang-orang yang diberi petunjuk (huda), rakhmat, berkah, hikmah dan kemenangan dalam kehidupannya.
Jadi bagaimana kita bisa menjadi orang yang cerdas – yang menguasai inti dari setiap persoalan kehidupan yang kita hadapi – menurut Al-Qur’an ? Ilustrasi grafik tersebut di atas bisa sedikit membantu.
Bulatan-bulatan tersebut adalah karakter yang perlu kita bangun, kita asah terus menerus sampai mendarah daging pada kehidupan kita. Sedangkan segi enam-segi enamnya adalah ayat-ayat yang menjadi rujukannya. Jadi ketika kita berbuat sesuatu, dasarnya amat sangat kuat karena memang ada rujukannya.
Contoh exercise-nya begini, di baris paling bawah – ada segi enam dengan angka 12:111, ini menunjuk pada Surat Yusuf ayat terakhir. Ayat ini antara lain menghubungkan Ulil Albab dengan ibrah, huda dan rakhmat. Ayat ini ditaruh di penghujung dari cerita yang oleh Allah sendiri sebut sebagai cerita terbaik (12:3).
Coba Anda baca berulang-ulang sambil berusaha mentadaburi 111 ayat dalam surat tersebut, bila Anda bisa menagngkap dan merasakan keindahan ceritanya – maka insyaAllah Anda sudah termasuk orang-orang kebanyakan - linnas (3:138) yang memang sudah seharusnya bisa menangkap keindahan cerita tentang Nabi Yusuf tersebut di atas.
Tetapi ketika Anda mulai bisa mengambil ibrah – pelajaran di antara 111 ayat-ayat tersebut, maka itulah perjalanan Anda untuk menuju Ulil Albab – orang yang cerdas, yang memahami inti dari persoalan yang Anda hadapi. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar