Bu, Kapan Kita Bisa Berbuka ?
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Bila
produksi pangan dunia terdistribusi merata, maka setiap penduduk dunia
saat ini bisa makan sebanyak 2790 kcal/orang/hari atau jauh melebihi
kebutuhan kalori rata-rata manusia yang di kisaran 2100 kcal/orang/hari.
Kenyataannya hingga kini masih ada 805 juta orang atau 1 dari setiap 9
orang di dunia masih kelaparan, apa yang sebenarnya terjadi ? Untuk
kepentingan ekonomi, politik dan dominasi penguasaan dunia – ada
segelintir orang yang suka menimbun dan menyalah gunakan kekuasaan atau
kemampuannya dalam mengendalikan bahan pangan dunia.
Tetapi
saya yakin masih ada juga sebagian manusia yang tidak ingin menimbun
makanan, tidak ingin kenyang sendirian sementara ratusan juta orang di
luar sana kelaparan. Sebagian orang inilah antara lain yang dikehendaki
sebagai hasil berpuasa.
Dengan
berpuasa kita dapat langsung merasakan sendiri betapa tidak enaknya
merasa lapar 12 jam saja. Itupun selepas magrib kita seperti balas
dendam, makan melebihi takaran yang biasanya. Tetapi puasa mestinya
bukan hanya untuk kita sendiri, agar kita juga bisa merasakan
penderitaan orang lain yang lapar – sehingga setelah itu mestinya kita
berbuat sesuatu untuk mengatasinya.
Saya
yakin bahwa sangat banyak diantara kita yang ingin berbuat sesuatu ini,
tetapi apa ? dan bagaimana kita akan berbuat ? Karena banyaknya yang
tidak tahu harus berbuat apa inilah team kami menyiapkan solusi langkah
bersama untuk mengatasi kelaparan dunia dengan proyek yang kami beri
nama Hunger Zone – yang juga sudah kami perkenalkan melalui dua tulisan
sebelumnya.
Proyek
ini digagas setelah ada di antara kami yang tidak bisa menahan
tangisnya menyaksikan sebuah dialog antara seorang balita miskin dengan
ibunya.
Dari
kejauhan dia melihat anak-anak dan orang kebanyakan riang gembira
pulang dari sholat tarawih, si anak kecil miskin bertanya kepada
ibundanya : “ Ibu, orang-orang sudah pulang sholat tarawih - kapan kita akan berbuka bu ?" si ibu hanya menunduk dan menahan tangisnya.
Sejak pagi si ibu tahu si balita lapar, tetapi dihiburnya dengan kata-kata : “nak, kita belajar berpuasa ya ! nanti magrib, insyaAllah kita akan berbuka dengan makanan yang enak”. Si ibu berharap menjelang magrib akan ada yang membaginya makanan – entah dari masjid atau tetangga-tetangganya yang kaya.
Tetapi
hari itu tidak ada tetangganya yang kaya yang memberinya makan,
pengurus masjid terdekat juga tidak menyadari bahwa ada tetangganya yang
kelaparan. Sedangkan si ibu terlalu malu untuk meminta kepada manusia,
maka hingga taraweh selesai dan menjelang waktunya tidur si anak tetap
bertanya kembali “ ibu, kapan kita bisa berbuka ?”
Tahukah
Anda bahwa si anak dan si ibu tersebut sangat bisa jadi adalah tetangga
Anda juga ? Data terakhir di Indonesia masih ada sekitar 27.8 juta
orang miskin atau hampir 11 % dari jumlah penduduk negeri ini. Menurut
FAO masih 19.4 juta orang yang dalam kondisi kelaparan seperti kisah
anak dan ibu tersebut. Dari dua data ini sebenarnya saling menunjang
dalam teori himpunan, bahwa di dalam himpunan orang miskin terdapat
himpunan orang yang lapar. Yang lapar adalah orang miskin, tetapi orang
miskin tidak semuanya lapar.
Dalam
radius 160 rumah yang termasuk definisi tetangga kita (40 masing-masing
kanan –kiri – depan dan belakang) ada rata-rata 12 rumah yang
berpotensi lapar – yaitu dari sebagian orang msikin tersebut. Jadi ada
12 rumah tetangga kita yang didalamnya berkemungkinan terjadi dialog
tersebut di atas. Tidakkah kita ingin bergerak untuk mengatasinya ? 12
jam berpuasa sudah cukup berat bagi kita, bagaimana kita bisa tidur
nyenyak bila ada tetangga kita yang ‘berpuasa’ jauh lebih panjang dari
itu karena tidak ada yang dipakai untuk berbuka ?
Tetapi
konkritnya bagaimana kita akan mengatasi kelaparan ini ? Masyarakat
biasa seperti kita bisa mengatasinya bila kita mau berbagi. Setiap 1
orang yang lapar di dunia, ada 8 orang yang kenyang. Bila salah satu
dari yang delapan tersebut mau berbagi saja, maka masalah kelaparan akan
teratasi. Bagaimana caranya ?
Di
system Hunger Zone yang kami kembangkan saat ini, bila nantinya siap
dalam satu dua bulan kedepan (insyaallah akan ada di hunger.zone) –
masyarakat bisa menandai –identifikasi- lingkungan masing-masing yang
berpotensi terjadi kelaparan.
Potensi kelaparan ini sangat besar -
tetapi kita baru bisa melihatnya sendiri setelah kita melakukan effort
untuk itu. Kondisi ini yang kemudian melahirkan filosofi logo gerakan
Hunger Zone yang kalu diterjemahkan dengan kata-kata menjadi “Once you see the one, you see the other…” Anda baru akan memahami logo ini setalah Anda perhatikan dengan seksama.
Setelah
diidentikfikasi, langkah berikutnya diverifikasi untuk memastikan
kakuratan data kelaparan tersebut. Kedua fungsi identifikasi dan
verifikasi ini dilakukan oleh sukarelawan Hunger Zone tetapi harus oleh
orang yang berbeda – agar terjaga independensinya.
Tugas
selanjutnya setelah data kelaparan terkonfirmasi adalah mengatasi
persoalan yang ada (overcome). Bisa berupa santunan rutin bila yang
lapar adalah orang-orang tua yang tidak bisa bekerja lagi, janda-janda
dlsb. Bisa berupa pemberdayaan, bila yang lapar masih muda dan masih
punya tenaga untuk bekerja.
Bagaimana
kita tahu tetangga kita tersebut lapar atau tidak ? sebenarnya tidak
terlalu sulit untuk melakukan ini. Kalau kita ambil standar kemiskinan
absolut dunia yang US$ 1.25/hari/kapita , maka dibutuhkan daya beli
sekitar Rp 16.250,- per kapita untuk orang tidak dikatakan miskin.
Kalau
satu keluarga ayah , ibu dan dua anak – maka keluarga tersebut butuh
penghasilan setidaknya Rp 65,000 per hari. Maka bila penghasilan
keluarga tersebut kurang dari angka ini, dalam keluarga tersebut berpeluang terjadi kelaparan – karena dari penghasilan yang ada tentu juga dibutuhkan untuk keperluan lainnya.
Karena
kita semua sangat ingin puasa kita bermakna, mumpung saat ini kita lagi
lapar – mari kita secara serius mulai memikirkan untuk berbuat dalam
hal ini. Kita ingin nantinya setiap ibu bisa menjawab bila anaknya
bertanya : “bu, kapan kita bisa berbuka ?”. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar