Salam Revival
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Masih di seputar upaya mengatasi kegalauan sejumlah pihak karena turunnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang kemudian mentrigger kenaikan suku bunga acuan BI, rentetan berikutnya adalah naiknya suku bunga pinjaman perbankan, melemahnya sektor riil karena menurunnya pasokan modal, hilangnya pekerjaan atau setidaknya tidak bertambahnya lapangan pekerjaan, pendek kata masa depan suram bagi para pencari kerja. Tetapi harus kah ini yang terjadi ? Adakah jalan lain agar siklus 10 tahunan ini tidak berulang ?
De Ja Vu 20 tahun lalu, ketika Rupiah jatuh ke titik nadir sempat sesaat sampai Rp 16,000/US$. Krisis besar tahun 1998 tersebut sifatnya regional, bukan hanya Indonesia yang terkena tetapi juga Asia Tenggara pada umumnya. Thailand dan Malaysia-pun kena tetapi yang paling terpuruk memang Indonesia. Bahkan krismon tahun 1998 tersebut menjadi salah satu penyebab berakhirnya rezim Orde Baru setelah 32 tahun dengan perkasa berkuasa.
Sepuluh tahun kemudian, krisis itu malah lebih besar skalanya secara global yaitu krisis financial 2008. Pemicunya adalah kegagalan subprime mortgage di Amerika Serikat, namun dampaknya sangat luas. Bukan hanya Amerika Serikat sendiri yang sempat sempoyongan, tetapi juga sejumlah negeri di Eropa. Negeri lain di seluruh dunia bahkan juga kena dampaknya meskipun dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda.