- Details
- Kategori : Entrepreneurship
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Setelah
1400 tahun lebih riba dilarang bagi umat Islam dan 8 tahun setelah
fatwa MUI tentang haramnya bunga bank, faktanya negeri dengan penduduk
mayoritas muslim ini 95 % lebih masih mengelola keuangannya secara
ribawi. Pertanyaannya adalah mengapa ini terjadi ?, ketika kita dilarang
makan babi serta merta kita mau meninggalkannya. Ketika dilarang makan
riba kok kita tidak bisa segera meninggalkannya ?, barangkali
pendekatannya selama ini yang kurang pas benar. Maka saya akan mencoba
memberikan pendekatan alternatifnya.
Data
dari Bank Indonesia terbaru yang saya peroleh per Maret 2012 memang
bisa membuat kita miris – bila melihatnya dari kaca mata seorang muslim
yang ingin sekali bisa meninggalkan riba. Betapa tidak, setelah hampir
dua dasawarsa berkembang di negeri mayoritas muslim ini bank-bank
syariah baru bisa mengumpulkan dana masyarakat Rp 119.65 trilyun,
sedangkan bank konvensional berhasil mengumpulkan dana masyarakat
sebesar Rp 2,825.98 trilyun. Atau dengan kata lain bank-bank syariah
baru berhasil mengumpulkan sekitar 4.2% dari dana masyarakat yang
mayoritasnya muslim ini.
Karena
yang dikumpulkannya sedikit, maka yang bisa disalurkan dalam bentuk
pembiayaan juga tidak banyak. Sampai saat data terakhir tersebut,
bank-bank syariah baru bisa meenyalurkan dana pembiayaan sebesar Rp
109.12 trilyun – sedangkan bank-bank konvensional berhasil menyalurkan
dana Rp 2,266.18 trilyun, atau bank-bank syariah baru menyalurkan
sekitar 4.8 % dari yang disalurkan oleh bank-bank konvensional.
Apa maknanya angka-angka tersebut ?, kemungkinan
pertama adalah umat mayoritas ini hanya memiliki akses pengumpulan dana
dan penyalurannya yang minoritas – bila yang diambil ukurannya adalah
dana-dana yang dikelola secara syar’i. Saya tidak yakin dengan
kemungkinan pertama ini.
Saya
yang lebih yakin adalah kemungkinan kedua, yaitu umat yang mayoritas
ini tetap memiliki akses yang mayoritas baik pada pengumpulan dana
maupun penyalurannya – tetapi sebagian terbesarnya masih dikelola secara
ribawi di bank-bank konvensional.
Lantas
bagaimana solusinya ?. Untuk ketemu solusi kita harus tahu penyebabnya
dahulu. Mengapa mayoritas muslim ini masih menggunakan pengelolaan
tabungan maupun pembiayaan yang ribawi ?, dugaan saya adalah karena dua
faktor yaitu convenience dan complacency.
Convenience
menyebabkan masyarakat merasa nyaman dengan layanan yang mereka terima
dari bank-bank konvensional selama ini, akibatnya terjadi complacency
yaitu keengganan untuk berubah. Hal yang sama terjadi di instutusi
perbankannya sendiri, yaitu mereka bank-bank konvensional sudah merasa
nyaman melayani masyarakat yang mayoritas muslim ini dengan sistem
ribawi – ya mengapa harus cape-cape berubah ke yang sifatnya syra’i ?.
Jadi apa yang harus dilakukan ?, ya memecahkan dua hal tersebut. Untuk masalah convenience
pertama umat harus terus menerus disadarkan dengan status haramnya
bunga bank yang sudah difatwakan pula oleh MUI sejak 8 tahun lalu
tersebut diatas – sehingga mereka tidak bisa lagi merasa nyaman dengan
riba. Yang kedua di sisi bank-bank syariah-nya harus terus memperbaiki
diri sehingga mampu memberikan kenyamanan yang sama atau bahkan lebih
baik dari bank-bank konvensional dalam segala hal.
Untuk masalah complacency
pada hakekatnya memang orang enggan berubah, maka harus dipaksa supaya
bisa berubah. Bentuk pemaksaan ini bisa mencontoh di industry makanan
misalnya. Tidak dikenal istilah pabrik makanan atau restoran yang
syariah atau konvensional, semua restoran dan makanan yang dijual di
negeri ini ya harus jelas halal-haramnya. Yang halal disertifikasi
halal, yang haram harus diberitahukan ke masyarakat bahwa itu haram.
Maka
demikian pula produk perbankan , asuransi dlsb. Seluruh produk yang
dijual atau ditawarkan ke masyarakat harus disertifikasi secara jelas –
mana yang halal dan mana yang haram. Dengan pendekatan ini insyaallah
bank-bank konvensional-pun akan berlomba dengan mengubah produknya
menjadi bebas riba.
Bisakah
ini dilakukan ?, InsyaAllah bisa, mengapa tidak ?. Selama ini yang
haram kan ketika produk perbankan tersebut mengandung riba yaitu ketika
tabungan diberikan bunga dan ketika kita meminjam-pun dikenakan bunga.
Maka bila produk-produk mereka didandani sehingga
bebas bunga dari ujung ke ujung, insyaallah bank konvensional-pun bisa
menghasilkan produk yang syar’i. Inilah yang saya sebut sebagai
pendekatan produk itu.
Pendekatan
produk ini lebih mungkin dilakukan ketibang pendekatan institusional,
yaitu memaksakan bank-bank konvensional tersebut hijrah menjadi bank
syariah. Atau juga lebih memungkinkan daripada mendorong masyarakat yang
95% lebih dananya masih dikelola secara ribawi di bank konvensional
untuk memindahkannya ke bank-bank syariah.
Seperti
restoran saja, makanan dari berbagai negara yang semula haram – boleh
saja buka cabangnya di negeri yang mayoritas penduduknya muslim seperti
negeri ini – asal mereka sudah memperbaiki produknya menjadi produk
makanan yang halal.
Lantas
bagaimana mengawasi produk bank konvensional agar bisa halal seandainya
mereka boleh mengeluarkan produk yang syar’i ?. Kembali seperti LPPOM
MUI mengawasi makanan halal. Setiap produk ditelusuri dari ujung ke
ujung dan secara berkala direview – sehingga terjaga kehalalannya
sepanjang waktu.
Produk perbankan tidak lebih njlimet
dan tidak lebih banyak dari produk makanan, Insyaallah lembaga semacam
LPPOM MUI bisa melakukannya bila mereka diberi kesempatan untuk itu.
Untuk
memberi gambaran lebih konkritnya saya beri satu contoh produk
perbankan halal yang bisa dikeluarkan oleh bank syariah maupun
konvensional.
Produk
Mudharabah Muqayyadah yang saat ini sedang kami persiapkan, kami
mendudukkan bank sebagi pencatat yang professional. Modal adalah dari
komunitas kami dan usaha yang didanai juga dari komunitas kami. Bank
kami gunakan sebagai institusi legal formal yang di negeri ini diijinkan
untuk mengumpulkan dana masyarakat dan mencatatnya dengan benar.
Maka
tugas bank dengan professionalism-nya adalah melakukan assessment suatu
usaha yang akan didanai oleh dana Mudharrabah Muqayyadah. Setelah usaha
tersebut secara professional dinyatakan layak, maka bank mulai menerima
dana masyarakat yang hendak disalurkan ke usaha tersebut. Bank tidak
memberikan bunga kepada masyarakat yang menyetor dananya dan tidak
mengenakan bunga pula kepada usaha yang mendapatkan pendanaan.
Usaha
yang didanai tersebut-lah yang mengeluarkan bagi hasil sesuai ketentuan
mudharrabah kepada para investornya. Bank dibayar terpisah secara
transparan – sebagi fee untuk juru tulis professional, sama seperti kita
membayar fee untuk notaris, lawyer, accountat dlsb.
Teman-teman di investment banking sebenarnya sudah familiar dengan arrangement semacam ini, yaitu ketika mereka mendapatkan fee atas pekerjaan professional mereka mempertemukan investor dan pemilik usaha.
Insyaallah
pendekatan produk ini selain menguntungkan umat karena akan tersedia
banyak alternatif produk finansial yang syar’i; juga akan sangat
menguntungkan perbankan syariah itu sendiri. Lho kok bisa ?, bukankah
mereka akan kebanjiran pesaing dari bank konvensional ?.
Tidak
demikian, pertama karena ketika bank-bank konvensional mengurus
produknya menjadi produk yang halal – itu lebih kepada upaya untuk bisa
melayani klien base-nya yang sekarang memang masih 95% lebih di pasar –
mereka tidak perlu mengambil pangsa pasar perbankan syariah yang kurang
dari 5 % tersebut diatas.
Kedua
karena produk perbankan yang diperuntukkan bagi umat mayoritas ini
harus syar’i; maka bank-bank syariah-lah yang sekarang akan leading the game karena know how, skills
dlsb. yang sudah lebih dahulu ada di mereka. Mereka akan memimpin
pasar, kemudian bank-bank konvensional yang akan mengikutinya; bukan
seperti sekarang bank-bank konvensional memimpin pasar kemudian
bank-bank syariah mengikutinya dari jauh.
Bagi
SDM perbankan syariah apalagi, ini akan meningkatkan permintaan yang
luar biasa - karena tiba-tiba seluruh industri perbankan harus ada atau
memiliki tenaga yang paham tentang produk syariah. Ini wajar saja lha
wong selama ini mereka melayani pasar yang memang mayoritasnya muslim !.
Bagi
SDM muslim yang kini bekerja di bank-bank konvensional, solusi ini bisa
menjadi pengobat bagi mereka yang merasa galau karena bekerja di
institusi yang menjadi pusaran riba. Setahap demi setahap produk mereka
akan disertifikasi halal - karena memang seperti buka restoran di negeri
muslim, masak mereka akan terus bertahan dengan produk yang tidak halal
?.
Intinya produk yang syar'i atau halal itu akan membuat everybody win, semua diuntungkan - karena mengikuti aturan dari Sang Maha Pencipta. Meminjam ungkapan dari ustadz temen saya saya "...lebih baik dipaksa masuk surga, daripada secara sukarela masuk neraka...!"
Mudah
kah ini dilakukan ?, tentu saja tidak mudah. Tetapi bila tidak ada
terobosan pendekatan semacam ini, saya kawatir akses umat ini terhadap
produk-produk investasi dan pembiayaan yang syar’i tetap termarginal-kan
seperti tercermin dari data tersebut di atas.
Insyaallah kamipun siap melakukan exercise
atas ide-ide ini dengan beberapa bank syariah, silahkan menghubungi
kami bagi Anda yang tertarik – baik sebagai pemilik usaha, sebagai
investor maupun sebagai bank yang akan mencatat secara professional
transaksi ini.
Pesantren
Wirausaha Akhir Pekan yang akan datang yang insyaallah akan kami adakan
Sabtu – Ahad 16-17 Juni 2012, akan secara khusus mengelaborasi
pembiayaan usaha dan investasi yang kami gagas ini. Peserta dibatasi 150
orang, jadi silahkan bergabung bila Anda berminat. Kesempatan akan diberikan kepada para pendaftar yang mendaftar lebih dahulu melalui urutan email ke
Iqbal@geraidinar.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar