Melanjutkan ‘mimpi’ ber-serie saya sebelumnya pasca pemilihan presiden, kali ini saya ber-‘mimpi’ Pak Kyai di-undang untuk hadir di sidang cabinet pemerintahan yang baru. Memang beda ketika masih menjadi calon atau
bahkan presiden terpilih, setelah dilantik Pak Kyai yang diundang ke
istana - bukan presiden yang datang. Pak Kyai segera merasakan adanya
perbedaan suasana yang menyolok dari sidang cabinet ini dengan
sidang-sidang cabinet sebelumnya.
Bila
sebelumnya sidang cabinet terasa angker dengan presiden , wakil
presiden dan seluruh para menteri memakai jas secara lengkap. Sidang
kali ini terasa casual, ada yang memakai batik dan ada pula baju putih
dengan lengan digulung. Diskusi-diskusi-pun terlihat santai dan cair
bahkan kadang agak berlebihan sehingga terkesan cengengesan.
Maka setelah berbasa-basi dengan seluruh peserta sidang, presiden-pun secara khusus memperkenalkan Pak Kyai : “Beginilah
Pak Kyai kami sekarang, saya dengar Pak Kyai dahulu sering hadir di
sidang cabinet – pemerintahan saat inipun ingin terus melibatkan Pak
Kyai dalam berbagai kesempatan. Hanya Pak Kyai mungkin akan jumpai
nuansa sidang yang berbeda, cabinet kami adalah cabinet kerja – jadi
beginilah cara kami bekerja, bagaimana menurut Pak Kyai ?”.
Pak Kyai segera menyalakan microphone didepannya dan menjawab : “Terima
kasih Bapak Presiden telah mengundang saya dan minta pendapat saya,
Hanya mohon ma’af sekali saya ini suka omong apa adanya ceplas – ceplos ,
mohon juga dimaafkan sebelumnya bila yang saya sampaikan membuat Pak
Presiden, Wakil Presiden dan para menteri ada yang kurang berkenan.”
Presiden memotong : “Oh ngak apa-apa Pak Kyai, silahkan sampaikan apa saja – insyaAllah itu akan baik untuk kami disini”. Dipersilahkan ngomong apa saja, maka Pak Kyai-pun mengambil kesempatannya.
“Begini
Pak Presiden, menurut saya ini – nama Kabinet Kerja ini agak kurang pas
sehingga menimbulkan banyak polemik yang tidak produktif di masyarakat.
Sebagian masyarakat senang karena inilah yang ditunggu-tunggu, sebagian
tersinggung karena seolah-olah cabinet sebelumnya tidak bekerja, dan
sebagian yang lain lagi mencemooh seolah-olah hanya kerja yang
dipentingkan sementara ilmu dikesampingkan”.
Meskipin sudah memberi kesempatan Pak Kyai untuk ngomong apa saja, kaget juga presiden dengan kritik langsung to the point gaya Pak Kyai ini. Tetapi presiden tetap menjaga kewibawaannya, memotong lagi ke Pak Kyai : “ Lha terus menurut Pak Kyai, sebaiknya diberi nama apa cabinet kami yang memang kami tekankan untuk kerja, kerja dan kerja ini ?”
Pak Kyai berusaha menjelaskan : “Saya
paham maksud Bapak Presiden, memang seperti itulah yang seharusnya.
Tetapi ilmu tidak bisa dikesampingkan dari amal, semua amal perbuatan
kita harus didasari dengan ilmu yang benar – apalagi ini untuk mengurus
negara yang demikian besar. Jadi ini bukan masalah pilihan cabinet yang
berilmu atau cabinet yang bekerja, cabinet yang seharusnya adalah
cabinet yang berilmu dan yang bekerja. Barangkali kalau diberi nama
Kabinet Ilmu dan Amal insyaAllah akan lebih baik – tidak mengundang pro
dan kontra tadi”.
Presiden-pun manggut-manggut, tetapi berusaha menjelaskan argumentasinya ke Pak Kyai : “Saya
paham Pak Kyai, idealnya memang demikian. Namun dalam realitanya memang
saya kesulitan untuk bisa bener-bener memilih anggota cabinet yang
sempurna – berilmu tinggi tetapi juga harus sudah berhasil membuktikan
kerja kerasnya di bidangnya. Menurut Pak Kyai bagimana ini ?”
Pak Kyai menjelaskan lebih lanjut : “Begini
Pak Presiden, yang saya maksudkan berilmu juga tidak harus yang
bergelar Professor, Doktor dlsb. bahwasanya seseorang berhasil sekali di
bidangnya – meskipun tidak bergelar – maka sangat bisa jadi yang
bersangkutan memang mendalami ilmu di bidangnya tersebut. Buktinya Pak
Presiden mengungdang saya untuk memberi pendapat, padahal saya juga
tidak bergelar !”
Karena suasananya santai, Pak Kyai-pun bisa sharing pengalamannya : “Suatu
hari saya diundang untuk memberi pembekalan di Majlis Cendekia di suatu
perguruan tinggi terkenal. Setelah tahu saya tidak bergelar, sang
rektor yang Professor Doctor – sempat ‘membantai’ pemikiran-pemikiran
saya – karena dianggap tidak memiliki dasar keilmuan yang benar. Setelah
itu Pak Professor memberikan buku karya tulisnya yang sangat tebal dan
dibanggakannnya ke saya, sambil saya buka-buka – saya ketemu sekian
halaman tulisan saya yang di copy paste ke
buku Pak Professor tersebut. Saya hanya menjawab ‘bantaian’ dia dengan
ucapan – “terima kasih Pak Professor telah mengutip pemikiran saya di
buku Bapak yang luar biasa ini” - , Pak Professor-pun nampak terkejut,
rupanya dia tidak mengenal siapa yang sedang dibantai-nya ini, setelah
itu dia diam.”
Maksud saya begini Pak Presiden : “Ilmu
itu mutlak diperlukan sebelum amal atau kerja, orang yang bekerja tanpa
ilmu – dia akan lebih banyak berbuat kerusakan ketimbang perbaikan,
tetapi ilmu itu sendiri tidak identik dengan gelar. Maka ini bukan hanya
masalah nama, tetapi sesungguhnya adalah masalah prioritas”.
“Kalau
bapak beri nama Kabinet Kerja dan ditekankan kerja, kerja dan kerja –
maka kesan mengesampingkan ilmu itu tidak bisa dihindari. Tetapi kalu
bapak berinama Kabinet Ilmu dan Amal, maka pertama Bapak sudah
menghargai ilmu dan cabinet bapak sendiri – yaitu hanya dengan namanya
saja bapak sudah menjelaskan ke publik bahwa mereka dipilih berdasarkan
keilmuannya – meskipun tidak harus terwujud dalam gelarnya – dan dengan
ilmunya itulah nanti mereka me-lead bidangnya dengan kerja keras”.
Kemudian Pak Kyai melanjutkan : “ Dan
Ilmu yang hak itu datangnya dari Allah semata, diberikan ke hambanya
yang bertakwa – wattaqullah wa yu’allimukumullah – bertakwalah kepada
Allah, Allah akan memberimu ilmu. Jadi orang-orang bertakwa itu gurunya
adalah Allah melalui wahyu di kitabNya dan sunnah-sunnah nabiNya. Maka
hendaknya cabinet bapak ini juga adalah orang-orang yang bertakwa….”.
Tanpa
disadari Pak Presiden, diskusi tentang nama ini ternyata
berkepanjangan. Sebelum membahas agenda-agenda lain saya keburu
terbangun dari ‘mimpi’ saya – ternyata cuma mimpi !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar